Arif Rahman Hakim (yang namanya diabadikan sebagai nama jalan), mahasiswa kedokteran UI asal Minang yang tewas ditangan aparat tahun 1966 (Zaman Orde Lama); lalu Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie, yakni para mahasiswa Universitas Trisakti yang tewas tertembak aparat di dalam kampus saat demo reformasi 1998 (era Orde Baru); mereka semuanya "lebih beruntung" daripada jika mereka tewas ditangan aparat di era Pak Joko, seperti sekarang ini. Setidaknya mereka dikenang orang sebagai rakyat sipil yang tewas akibat kekerasan aparat.
Tapi di era kini, mereka yang harus kehilangan nyawa ditangan aparat ada kecenderungan untuk "diperanjingkan" (maaf cakap nih ya), maksudnya, namanya akan dikesankan buruk, sehingga kematian mereka dianggap seolah pantas dan biasa saja.
Korban dalam demo menentang UU Cilaka dan revisi UU KPK, bahkan saking gelapnya, publik pun tak begitu mengingat nama mereka.
Dalam peristiwa KM 50, ini tak hanya dalam perang opini, tapi secara legal dinyatakan memang perilaku aparat salah, tapi dapat dimaklumi.
Dan dalam tragedi Kanjuruhan, dalam tataran opini, ada saja para buzzer yang coba "memperanjingkan" 135 jiwa korban tersebut seolah pantas mati. Sangat menyakitkan. Sedangkan dalam tataran legal, kemungkinan kasus Kanjuruhan ini akan berlalu begitu saja, tanpa ada yang harus mempertanggungjawabkannya.
Kasus Sambo seolah jadi gambaran semua kejadian di atas. Joshua dibunuh, kemudian ia berusaha "diperanjingkan" pula agar seolah pembunuhan terhadapnya: meski salah tapi "dapat dimaklumi".
(Ibnu Zaini Atmasan)