By M Rizal Fadillah
Rakyat sudah melek politik karenanya jangan selalu dijadikan obyek penipuan politik. Tahun 2024 adalah agenda Pemilu yang mesti terlaksana. Isu Penundaan Pemilu sangat tidak beralasan karena di samping tidak memiliki landasan perundang-undangan juga merusak sistem demokrasi. Negara jangan mengkooptasi kedaulatan rakyat.
Setelah Ketua KPU “Banser” Hasyim Asy’ari babak belur diterpa kasus pelecehan, kini institusi KPU dituding bermain politik soal lolos meloloskan parpol untuk Pemilu 2024. Peta yang ramai dituduhkan adalah meloloskan Partai Gelora untuk menghambat PKS, menjadikan PKN sebagai peserta Pemilu untuk menggerus Partai Demokrat, dan menggagalkan Partai Ummat dalam rangka melindungi PAN.
Di samping urusan suap seksual juga diduga berhubungan dengan uang. Janji untuk meloloskan Partai Republik Satu yang disampaikan Ketua KPU kepada Hasnaeni Moein jelas pelanggaran etika dan menjadi salah satu bentuk korupsi. Ketika janji itu tidak terealisasi, maka Hasnaeni yang telah mengorbankan “jiwa dan raga” kecewa dan selanjutnya melaporkan Ketua KPU.
KPU yang sudah bau sulit untuk mendapatkan kepercayaan rakyat. Rezim Jokowi nampaknya ingin mengulangi kesuksesan menipu rakyat sebagaimana Pemilu 2019 dengan memainkan KPU sebagai wasit yang berpihak. Kesaksian menarik Hasnaeni adalah ia mendapat informasi dari Ketua KPU bahwa disain rezim, yang tentu melibatkan KPU, Presiden-Wapres nanti adalah Ganjar Pranowo-Erick Thohir.
Begitu juga dengan keterangan salah satu Komisioner KPUD yang diancam oleh Komisioner KPU Idham Holik agar meloloskan Partai Gelora, PKN, dan Partai Garuda. Ungkapan ancaman itu terberitakan katanya disampaikan dalam pertemuan KPU dengan KPUD seluruh Indonesia di Ancol Jakarta. Testimoni itu muncul dalam acara CNN Indonesia TV.
Ada kekhawatiran bahwa gonjang-ganjing KPU adalah bagian dari manuver politik jugauntuk mencari alasan. Ketidakpercayaan pada KPU menjadi sebab untuk menunda Pemilu. Skenario konservatif ini mengarah pada perpanjangan masa jabatan atau tiga periode jabatan Presiden.
Rakyat sudah muak dengan wacana dan agenda perpanjangan atau tiga periode. Banyak kalangan telah mengingatkan akan bahaya kudeta Konstitusi ini.
Apa yang disampaikan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof DR H Abdul Mu’thi perlu mendapat perhatian. Menurutnya elit politik agar menghentikan wacana penundaan Pemilu karena hal itu bertentangan dan menghianati Konstitusi atau UUD 1945.
Sementara ekonom DR. Rizal Ramli menyebut diplomat AS/Barat, kalangan aktivis civil society dan politisi sudah mencium adanya semacam “Pertemuan Dewan Kudeta Konstitusi” yang diikuti oleh tokoh-tokoh, pejabat, dan taipan-taipan di Pulau G yang membahas perpanjangan jabatan dengan mendompleng isu Kembali ke UUD 1945.
Pandemi dan stabilitas ekonomi serta masalah yang dihadapi oleh KPU tidak boleh menjadi alasan untuk melakukan penundaan Pemilu. Politik licik rezim sebagaimana dalam Pemilu 2019 adalah mengubah KPU dari wasit politik yang adil menjadi Komisi Penjahat Ulung. Dapat menjadi bandit dalam mensukseskan disain dan dapat pula menunda Pemilu.
Jika Pemilu dipaksa ditunda dengan melanggar Konstitusi, maka Presiden sebagai penanggungjawab harus menerima sanksi. Tidak cukup dengan berhenti tetapi proses peradilan.
Hukum harus mampu menghukum para pelanggar hukum.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 24 Desember 2022