[PORTAL-ISLAM.ID] Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana melarang penjualan rokok batangan sebagaimana dalam peraturan pemerintah yang akan disusun pada 2023.
Rencana itu diketahui dari salinan Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 yang diteken Jokowi pada 23 Desember 2022.
Dalam beleid itu, pemerintah berencana menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Larangan penjualan rokok batangan merupakan satu dari tujuh pokok materi muatan yang akan diatur dalam rancangan peraturan pemerintah itu.
Sejumlah perokok pun mulai mengeluhkan rencana penerapan kebijakan tersebut. Salah seorang warga Pancoran, Jakarta Selatan, Darma (24) mengaku kaget dengan rencanayang dianggap tiba-tiba ini. Menurutnya, pemerintah saat ini terlalu banyak membuat kebijakan yang mengatur kehidupan warga kelas menengah ke bawah.
"Kaget kok tiba-tiba pemerintah (akan) bikin aturan soal ngeteng rokok, bahkan aturan-aturan detail untuk warga kecil, ngeteng rokok aja diatur pemerintah," ujarnya saat ditemui CNNIndonesia.com, Senin (26/12).
Menurutnya, aturan ini tidak hanya akan berdampak pada para perokok, tetapi juga pada pelaku usaha yang menjual rokok ketengan.
Meskipun, ia sendiri merasa tak terlalu terdampak dengan kebijakan ini sebab sehari-hari ia biasa membeli rokok bungkusan. Namun, dalam pandangannya, aturan ini justru bisa meningkatkan pengeluaran perokok.
"Mau nggak mau perokok jadi harus beli sebungkus, nggak bisa ngeteng (buat ngerokok) sekali-sekali," ungkapnya.
Darma pun menyebut jika aturan ini ditujukan untuk menekan angka perokok anak-anak, maka pekerjaan rumah pemerintah masih menumpuk terkait pengawasannya.
"Mungkin kebijakan buat membatasi rokok ke anak-anak bisa efektif sih, tapi PR-nya pemerintah jadi banyak banget, nggak cukup pakai aturan ini saja," tutur Darma.
Serupa, perokok aktif Sudira (31) mengaku kebijakan ini akan berpengaruh pada dirinya. Sebab, ia kerap membeli rokok ketengan jika sedang tak memiliki uang. Sudira juga menilai kebijakan ini hanya disasar pada kelompok menengah ke bawah.
"Sebagai orang aktif merokok sehari-hari menilai kebijakan ini sangat lucu, aneh menurut saya, kenapa pemerintah sering kali mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang justru nggak menghasilkan apa-apa buat orang kecil?" tanya Sudira.
Menurutnya, dengan cukai hasil tembakau (CHT) yang ditetapkan naik per 1 Januari 2023, beban perokok akan semakin berat.
Ke depan, perokok seperti dirinya mesti membeli bungkusan. Kerugian ini pun juga menurutnya akan berdampak pada warung-warung kecil yang justru mendapat banyak untung dari menjual rokok ketengan.
"Warung-warung kelontong dan asongan kan banyak yang jualan ecer, pasti mereka teriak, mereka pasti larinya ke warung-warung yang besar karena spare harganya kan cukup beda," jelasnya.
Bahkan, ia meyakini terbitnya aturan ini tak akan berjalan efektif. Pasalnya, berbagai aturan kerap diterabas oleh warga sebab pengawasan aturannya pun minim.
"Selama pengawasannya nggak bagus, keberulangan akan terus terjadi. Anak-anak ya (tetap) gampang dapat rokok," ungkapnya.
Berbeda, Subarkah (30) menilai kebijakan ini bisa menjadi efektif untuk mengurangi tingkat kecanduan masyarakat Indonesia. Meskipun ia juga seorang perokok aktif, Subarkah mengaku jarang membeli rokok batangan.
"Pasti berpengaruh ke masyarakat pendapatan ekonomi bawah yang nggak mampu beli rokok per bungkus. Di satu sisi, saya kasihan sih sama nasib mereka, karena nggak bisa beli rokok dengan mudah, tapi di sisi lain, saya lihat kebijakan ini bisa efektif untuk mengurangi tingkat kecanduan merokok rakyat Indonesia," ucapnya.
Subarkah menjelaskan pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengatasi pecandu rokok hingga dapat berhenti total. Terlebih, ia melihat saat ini rokok pun mulai ditinggalkan dan beralih ke rokok elektrik seperti pods atau vape.
Menurutnya, salah satu yang bisa dilakukan pemerintah adalah memberikan insentif kepada keluarga yang anggotanya tidak merokok. "Ada jembatan yang perlu dibangun di sini, bagaimana konseling berhenti merokok bisa dimasifkan dan alternatif-alternatif lainnya," tegasnya.[cnnindonesia]