KELEMBUTAN HATI SEORANG IBU ASAL MAROKO
Ini kisah lama ketika kami masih berada di negeri seribu benteng Maroko, kawasan Afrika bagian utara.
Kala itu, dalam perjalanan kami dari kota Fes menuju ibukota Maroko yaitu Rabat, perjalanan ditempuh sekitar 3 jam via jalur darat, kami duduk bersampingan dengan seorang ibu yang usianya sekitar 80 tahunan.
Singkatnya, ibu tersebut bercerita akan kunjungannya ke Rabat untuk menjenguk buah hatinya yang sudah sukses dan menetap di sana.
Kemudian si ibu bertanya tentang keadaan kami, dan kami pun menjelaskan bahwa kami sedang belajar di sini, seraya memohon doa tuk kelancaran studi.
Kemudian bertanya tentang kondisi keluarga kami:
"Apakah orangtua kamu masih hidup?" tanya si ibu kembali.
Lalu kami jawab singkat..
"Ibu kami sudah lama tiada, tinggal ayah kami (jawaban kala itu)." rahimahumallah rahmatan wasi'ah..
Kami lanjut cerita...bla bla...
Satu hal yang membuat kami kaget, ketika si ibu mendengar kalau ibu kami sudah lama meninggal, seketika itu pula ia banjir air mata, begitu dahsyat isak tangisnya dan berlangsung sekian lama.
Namun kami biarkan ibu itu menangis tanpa bertanya² kenapa ibu itu menangis.
Dengan tenang, kami terus bercerita tentang kegiatan kami selama di Maroko dan perihal Indonesia.
Mendengar cerita kami, tangisan sang ibu terus menemani perjalanan kami sampai ke Rabat.
Cerita lainnya, ketika sudah pulang ke Indonesia, di salah satu masjid agung di kota besar di Sumatera, selepas shalat dzuhur kami mendapati pasangan suami isteri berwajah arab campur bar-bar dan kami pun mengucap salam kepada mereka.
Jujur! Kami sangat senang jika ada orang arab/bar²/andalus datang ke negeri ini, minimalnya nostalgia seakan-akan sedang mengulang cerita indah di Tanah Arab.
Keduanya berasal dari Al Jazair berdekatan dengan Maroko, yang sedang menengok anak perempuannya yang kuliah di salah satu Universitas Negeri ternama di tanah air dan mengambil konsentrasi sains.
Kami pun menyentil pertanyaan...
"Kenapa anda tidak sekolahkan anak di Eropa saja, lebih maju dan lebih dekat dari Negara anda?"
"Kami memilih Indonesia karena Negara muslim dan anak saya sangat senang dengan negara yang mayoritas Islam seperti Indonesia," jawabnya dengan senyum kebanggaan.
Sesekali kami ngobrol dengan bahasa Perancis, merekapun antusias kendati wajah arab tapi di Aljazair bahasa Perancis adalah bahasa kedua sama seperti Maroko, merekapun heran dimana kami belajar bahasa Arab dan Perancis.
Barulah kami sampaikan...
Bahwa kami pernah menimba ilmu di negara Arab dan Afrika bagian utara yang mayoritas berbahasa Arab dan Perancis, suka duka pun kami ceritakan dengan singkat.
Lagi-lagi tanpa diduga, sang ibu malah berurai air mata, sesekali sesenggukan mendengar cerita kami..
Padahal kami pikir apa yang harus ditangisi, obrolan ini menurut kami biasa-biasa saja.
Kami pun tak bertanya kenapa si ibu menangis, dalam hati, mungkin ia terharu ketika ada orang Indonesia jauh-jauh belajar ke Arab sebagaimana anaknya jauh-jauh belajar ke Indonesia. Mungkin..
Inilah bangsa Arab, dengan segala kelebihan dan kekurangan, mereka mempunyai hati-hati yang lembut dan mudah disentuh, secara kultural mereka terlihat keras dan kasar, namun sejatinya mereka mudah disentuh.
Terlalu banyak jasa bangsa Arab/Muslim atas negeri ini, namun kita seakan lupa atas jasa mereka, kita lebih bangga dengan budaya barat, atau asing yang sebenarnya sangat merusak dari segi akidah dan moral, terkikis sudah identitas bangsa ini.
Belajarlah dari orang-orang Arab/bar², mereka mudah menangis, mudahhhh sekali!
Alasannya bukan karena mereka melow atau cengeng, namun Al Qur’an sudah mendarah daging dan masuk ke relung sanubari mereka.
Semoga Allah Ta'ala menjadikan kita sebagai keluargaNya dan orang-orang terpilih untuk tetap mencintai Al Qur'an sampai ajal menjemput. Ya Robbanaa...
(Guntara Nugraha Adiana Poetra)
*sumber: fb penulis