[PORTAL-ISLAM.ID] Berita duka datang dari senior dan sahabat kita, Bang Ridwan Saidi, yang wafat kemarin, Minggu (25/12/22) dalam usia 80 tahun. Menyebut nama Ridwan Saidi mengingatkan orang pada acara Indonesia Lawyer Club (ILC), sekaligus juga mengingatkan kita pada Bung Rocky Gerung yang 11 : 12 dengannya. Hubungan keduanya sangat dekat, sama-sama aktivis, dan sama-sama punya suara “keras”.
“Orangnya mampu mengubah suasana dari akademis tiba-tiba jadi ledekan politik, dia balik lagi pada konsep-konsep history, karena dia ensiklopedik, paham tentang banyak hal, dan pembaca buku yang bagus, paham bahasa Belanda, dan kalau ada pertemuan politik selalu orang tunggu Ridwan Saidi mengucapkan sesuatu yang ada basis data dan sejarah,” kenang Rocky Gerung tentang Ridwan Saidi yang ditanyangkan dalam Kanal Youtube Rocky Gerung Official edisi Senin (26/12/22) bersama Hersubeno Arief, wartawan senior FNN.
Dalam pandangan Rocky, meskipun usinya sudah melampaui rata-rata hidup orang Indonesia, Ridwan Saidi tetap memikirkan bangsa. Dia tetap berupaya untuk menerangkan pada publik bahwa ada yang lalai dipelihara oleh istana, yaitu berpikir konseptual, berpikir teoritis, bahkan berpikir akademis.
Ridwan Saidi adalah tokoh gerakan mahasiswa, memimpin organisasi mahasiswa terbesar HMI, pernah menjadi anggota partai politik, lalu memutuskan untuk menjadi budayawan dan studi mandiri atau otodidak dalam banyak hal.
Ridwan Saidi selalu mengingatkan pentingnya orang-orang untuk terus berpikir. Ridwan Saidi sering berkumpul dalam satu acara perdebatan politik bersama kumpulan orang yang pernah mengalami orde baru dan berada di dalam awal reformasi, lalu mulai mempertanyakan keadaan hari ini, seperti Rocky Gerung, Fahri Hamzah, dan yang lain.
“Pak Ridwan Saidi selalu punya poin untuk semua hal, dia seperti buku yang terbuka, dan tiba-tiba dia bisa komentar sesuatu yang orang anggap kok bisa dia temukan hubungan antara peristiwa dengan keadaan yang sekarang,” ujar Rocky.
Dalam acar ILC, Ridwan Saidi selalu dipasangkan dengan Rocky Gerung dan Fahri Hamzahuntuk menghidupkan percakapan. “Demokrasi itu adalah menghidupkan percakapan. Mau gontok-gontokan di situ boleh saja, tapi kasih argumen supaya nggak jadi dendam,” ujar Rocky. Yang bahaya dalam debat politik, menurut Rocky, orang tidak punya argumen lalu jadi sentimen, kemudian jadi dendam. Jadi, biasakan saja pakai modus bahwa kita ada dalam kehidupan publik dan kehidupan publik itu tidak boleh ada dendam. Karena kelebihan publik itu tidak final. Setiap saat kita bisa mengubah cara kita berpikir, cara kita mengajukan pendapat, dan cara kita membela pendapat kita sendiri.
“Jadi banyak orang yang baper sebetulnya. Babe Ridwan juga mengkritik Jokowi. Dia bilang Jokowi bermasalah di dalam melihat sejarah bangsa, lalu orang tersinggung, dianggap menghina presiden. Yang dia kritik adalah presiden Jokowi, kalau Jokowi bukan presiden siapa yang peduli dengan Jokowi,” ujar Rocky. Kritik seperti itu juga yang dilakukan Rocky dan membuat orang marah. Padahla yang dia lakukan bukan menghina presiden, tapi memberitahu faktanya. Justru karena dia presiden maka mesti diingatkan agar mempelajari sejarah bangsa. Pemimpin mesti paham sejarah bangsa supaya bisa membuat proyeksi masa depan, tambah Rocky.
Salah satu hal yang mengagumkan dan patut diteladani dari Babe Ridwan Saidi adalah bahwa sampai berapa hari sebelum sakit, beliau masih setiap hari menulis Rubrik Catatan Babe untuk FNN secara konsisten. Menurut Rocky, hal itu menunjukkan kondisi berpikirnya terpelihara. Tidak seperti sekarang, gagal berpikir marah; salah berargumen, kirim sentimen; kacau dalam logika, lapor polisi. Selama 7 tahun era pemerintahan Pak Jokowi, kita tidak melihat ada suasana berpikir. Jadi, intelektualitas dan kemampuan untuk berdebat yang konseptual tidak ada. Karena tidak mampu berpikir lalu marah-marah.
Pada zama orde baru, Ridwan Saidi bersama tokoh politik seangkatannya di HMI berupaya untuk menyelenggarakan politik intelektual, tetapi itu suasana itu justru terjadi di era ketika Indonesia dipimpin oleh rezim yang militeristik.
Ajaibnya, sekarang, justru ketika terbuka demokrasi orang tidak mau berdebat secara intelektual. Tokoh-tokoh yang di awal reformasi kita anggap bisa sekarang justru fanatik dan menjadi Jokowisme. Padahal, menurut Rocky, Pak Jokowi sebetulnya tidak punya isme karena dia tidak paham masa depan, dia gagal membaca sejarah masa lalu, dan Pak Jokowi bukan orang yang sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh pemimpin bangsa.
Menurut Rocky, kita kehilangan Bang Ridwan karena kita kehilangan orang yang berpikir. Kita merasa kehilangan ketika kehilangan orang yang berpikir. Kalau kehilangan orang yang kerja kerja kerja saja banyak yang bisa menggantikan, tapi kalau orang yang berpikir berpikir berpikir susah cari gantinya. Sekarang dia hilang dan Bang Ridwan salah seorang yang tangguh untuk mempertahankan tradisi debat intelektual juga sudah kembali ke alam baka yang abadi. Selamat Jalan Bang Ridwan. [fnn]