Memasuki tahun 2023, rakyat disambut dengan kebijakan reformasi skema tertutup untuk penyaluran subsidi Gas LPG 3 Kg. Caranya unik. Rakyat diwajibkan nunjukin KTP saat membeli LPG tabung melon.
Selanjutnya, KTP pembeli akan disesuai dengan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) yg dinput di website Subsidi Tepat milik Pertamina.
Namun, sulit saya membayangkan bagaimana caranya penjual, terutama pedagang kaki lima yg menjual LPG 3 kg mencocokan KTP setiap pembeli dengan data P3KE di website Pertamina. Koplak !!!
Masa pedagang harus disuruh main lepotop atau pegang hp sambil online, lalu nge-cek data identitas setiap pembeli di website pertamina. Kan ngaco !!!
Alasan pemerintah, pembelian LPG 3 Kg dengan menggunakan KTP agar subsidi tepat sasaran. Ga bocor ke orang kaya.
Bahasanya manis. Tapi sesungguhnya kebijakan ini adalah wujud pembatasan kuota LPG untuk kendalikan besarnya impor dan tanggungan subsidi LPG 3 Kg dalam APBN.
Benar saja, subsidi LPG 3 Kg dalam APBN 2023 sudah dipangkas jadi Rp 117.84 T. Sebelumnya di APBN 2022, masih Rp 134.78 T. Rakyat dikorbankan lagi.
Sungguh langkah frustasi yg menegaskan: pemerintah dan DPR Indonesia malas dan tidak kreatif. Enjoy the power. Power and glory. Memalukan.
SKK Migas menyebut, Produksi LPG nasional 2022, 1,9 juta meter kubik. Sementara kebutuhan Konsumsi 8 juta meter kubik. Minesnya 6,1 juta meter kubik.
Untuk menutupi kekurangan pasokan tersebut, negara harus impor 6,4 juta meter kubik.
Pertamina beli impor di spot market dengan harga global. Dijual kembali ke masyarakat dalam negeri dengan harga rugi. Kerugian Pertamina itu selanjutnya dibayar pemerintah lewat tanggungan subsidi dari APBN.
Rendahnya produksi dan besarnya impor LPG adalah masalah klasik yg sengaja dipelihara kementrian ESDM, komisi VII DPR RI, mafia serta oligarki impor.
Kenapa saya sebut sengaja dipelihara ?
Karena ketika kementrian ESDM menyatakan produksi LPG kita lemah, bagi saya, itu kalimat yg sangat tidak pantas.
Bukankah data kementrian ESDM sendiri yg menyebut, per 31 Desember 2021, produksi Gas alam nasional tembus 59,29 juta meter kubik.
Lalu kenapa proses konversi ke LPG untuk memenuhi kebutuhan 8 juta meter kubik sebagaimana alokasi yg ditetapkan dalam APBN saja tidak bisa ?
Otak menteri ESDM taruh dimana, dari total produksi Gas alam 59,29 juta, yg berhasil dikonversi ke LPG hanya 1.9 juta meter kubik ?
Kalau 59,29 juta produksi digunakan untuk bayat konversi LPG 1.9 juta, masih menyisahkan 57,39 juta meter kubik.
Kalaupun digunakan lagi untuk membayar konversi ke LPG sesuai kebutuhan masyarakat 8 juta meter kubik, masih menyisahkan 51,29 juta meter kubik.
Artinya Indonesia surplus produksi dan pasokan Gas alam !!!
Surplusnya berapa ? 51,29 juta meter kubik !!!
Lalu kenapa Indonesia harus bergantung tinggi terhadap pasokan impor LPG ?
Apa juga alasan pemerintah tidak mampu menyanggupi konversi produksi gas alam ke LPG sesuai kebutuhan yg hanya 8 juta kubik meter ?
Sudah bisa ditebak jawabannya, pemerintah akan ngeles, lemahnya konversi gas alam jadi LPG karena kita lemah dalam produksi kandungan campuran propane C3 dan butane C4.
Jawaban klasik ini selalu diulang-ulang setiap tahun. Padahal solusinya sederhana. Bangun kilang. Beres masalah. Kalau ga mampu bangun kilang, upgread kapasitas kilang. Terutama kilang LPG Bontang yg potensial. Beres.
Namun, sejauh ini, upaya tingkatkan produksi LPG berbasis pada bangun kilang dan akselerasi kapasitas kilang tidak menjadi orientasi pemerintah.
Kenapa ?
Kalau negara berhasil tingkatkan produksi sesuai kebutuhan rakyat, lalu bagaimana caranya koruptor di Kementrian ESDM, Komisi VII DPR, SKK Migas serta mafia dan oligarki impor bisa mencuri keuntungan lewat perburuan rente impor ?
Indonesia kaya akan cadangan gas alam. Silahkan buka website kementrian ESDM atau SKK Migas lalu sharcing Proven Gas alam.
Akan muncul tulisan, per 31 Desember 2021, cadangan gas terbukti 34, 64 triliun meter kubik.
Kalau digabungkan dengan unproven atau potensial reserves, total cadangan capai 60,61 juta meter kubik. Sementara total produksi capai 59,29 juta meter kubik.
Lalu kenapa konversi ke konversi ke LPG cuma 1.9 juta meter kubik ?
Memang sengaja dipelihara kelemahan itu. Biar indonesia tetap bergantung pasokan impor. Mafia berbaju pejabat dan wakil rakyat, serta oligarki impor bisa terus mencuri keuntungan.
SKK Migas dan Kementrian ESDM kompak melaporkan, sampai saat ini, ditengah produksi gas alam yg capai 59,29 juta meter kubik itu, justru diikuti dengan serapan gas domestik yang rendah. Hanya mencapai 68.66% total produksi.
Mirisnya, jumlah produksi gas alam yg dikonversi ke LPG prosentasinya hanya 1.51% dari total produski. Sementara mayoritas 31% diekspor negara ke pasar global untuk cari duit.
Kan koplak. Kejar ekspor tinggi, tapi kebutuhan dalam negeri diabaikan.
Mirisnya lagi, gas alam Indonesia yg diekspor keluar dengan jumlah mayoritas, diolah di luar jadi LPG, lalu diimpor kembali ke Indonesia dengan harga yg memiskinkan. Sehingga memicu lonjakan tanggungan subsidi untuk menutupi kerugian Pertamina.
Impor dan tanggungan subsidi yg tinggi, pada akhirnya bikin pemerintah teriak: Hai rakyat APBN tersandera, pertamina rugi. Tidak ada jalan lain, harus dilakukan pembatasan kuota LPG 3 Kg.
Lalu muncul wacana kebijakan KOPLAK: maksimalisasi alokasi subsidi tepat sasaran lewat pembelian LPG 3 Kg dengan menggunakan KTP.
Shame On You....
(By Faisal Lohy)