Jerat Pidana Paham Anti-Pancasila
Pemerintah dan DPR menyepakati pidana penjara bagi orang yang menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila. Delik ini berpotensi multitafsir dan menjadi alat penguasa untuk membungkam aktivis.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menambahkan ketentuan Pasal 188 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengatur pidana penjara bagi orang yang menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila. Tambahan tersebut berpotensi disalahgunakan untuk mengkriminalkan keragaman keyakinan di masyarakat.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menilai Pasal 188 RKUHP itu sangat absurd dan tidak jelas. “Bagaimana kita menafsirkan paham-paham lain yang bertentangan dengan Pancasila?" kata Isnur, Selasa, 19 November 2022.
Menurut Isnur, Pasal 188 itu sangat multitafsir dan berpotensi menjadi alat untuk mengkriminalkan dan membungkam orang-orang yang dianggap berseberangan dengan pemerintah.
Terbukti, kata dia, selama ini Pancasila dijadikan sebagai alat untuk menyeragamkan dan membungkam pihak-pihak yang dianggap radikal dan militan.
"Misalnya bagaimana stigma kepada teman-teman anarko dan kelompok muslim," kata dia.
Kamis pekan lalu, Komisi Hukum DPR dan pemerintah setuju menambahkan frasa “paham lain yang bertentangan dengan Pancasila” dalam Pasal 188 RKUHP.
Awalnya, Pasal 188 itu hanya mengatur pidana maksimal 4 tahun penjara bagi orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme dan Marxisme-Leninisme di muka umum.
Lalu Pemerintah dan DPR bersepakat menambahkan frasa “paham lain yang bertentangan dengan ajaran Pancasila".
Setelah ditambahkan, Pasal 188 itu berbunyi:
“Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme dan Marxisme-Leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan dipidana maksimal 4 tahun penjara.”
Ketentuan ini dikecualikan bagi orang yang melakukan kajian terhadap ajaran komunisme dan Marxisme-Leninisme untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Misalnya untuk kepentingan pengajaran, mempelajari, memikirkan, menguji, dan menelaah paham tersebut di lembaga pendidikan dan penelitian tanpa bermaksud menyebarkan dan mengembangkannya.
Anggota Komisi III DPR dari PDIP, Arteria Dahlan, mengklaim Pasal 188 tersebut merupakan hasil dialog publik antara pemerintah, DPR, dan masyarakat.
"Sehingga dirasa perlu dalam pasal ini ditambahkan kalimat seperti itu," kata Arteria.
Arteria mengatakan kriteria mengenai "paham lain" yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dapat dilihat dalam Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan.
(Sumber: Koran TEMPO)