[PORTAL-ISLAM.ID] Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Perppu itu dibuat untuk menjawab putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
"Hari ini telah diterbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 dan tertanggal 30 Desember 2022," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (30/12).
Keputusan Jokowi mengeluarkan Perppu tentang Cipta Kerja mendapat kritik keras dari pakar hukum tata negara, termasuk juga penggugat UU tersebut ke MK.
Koordinator Tim Kuasa Hukum Penggugat UU Ciptaker Viktor Santoso Tandiasa mengatakan Jokowi telah melawan hukum dan membangkang konstitusi
Viktor menjelaskan MK dalam putusannya mengamanatkan agar pemerintah dan DPR memperbaiki prosedur pembentukan UU Cipta Kerja dan memaksimalkan partisipasi publik. Namun, pemerintah justru mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Perppu.
UU Cipta Kerja dari awal pembuatannya sudah diselimuti kontroversi.
Mulai dari pembahasan secepat kilat, demonstrasi besar-besaran, dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK, hingga Perppu yang baru diteken Jokowi hari ini.
Berikut jejak UU Cipta Kerja dari awal pembahasan hingga Jokowi meneken Perppu untuk merespons putusan MK:
Pembahasan Kilat di DPR
Pemerintah resmi menyodorkan draf RUU Cipta Kerja kepada DPR pada Januari 2020. Jokowi pun meminta DPR menuntaskan pembahasan Omnibus Law tersebut dalam waktu 100 hari.
"Saya akan angkat dua jempol kalau DPR bisa menyelesaikan dalam 100 hari. Tidak hanya saya, tapi saya kira Bapak, Ibu, dan saudara-saudara semua juga acungkan jempol jika itu bisa diselesaikan dalam 100 hari," kata Jokowi awal 2020 lalu.
Pembahasan di DPR secara resmi dimulai pada awal April 2020. Para wakil rakyat langsung mengebut pembahasan draf undang-undang yang memakai metode Omnibus Law tersebut.
Kritik terus berdatangan karena pembahasan dilakukan di tengah pandemi Covid-19. Masyarakat sipil meminta pemerintah maupun DPR fokus menangani pandemi Covid-19 ketimbang RUU Cipta Kerja.
Aturan yang berisi 15 bab dan 174 pasal tersebut akhirnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober 2020.
Demo Besar-Besaran
Pengesahan UU Cipta Kerja ini mendapat penolakan dari sejumlah kalangan, mulai dari akademisi, organisasi masyarakat, mahasiswa hingga kalangan buruh. Mereka menilai pemerintah dan DPR terburu-buru dan tak partisipatif.
Demonstrasi pun digelar di sejumlah daerah. Tak sedikit demo berujung pada kericuhan. Berdasarkan data Polri, tercatat ada 5.198 orang ditangkap dalam aksi menolak UU Cipta Kerja.
Tim Advokasi untuk Demokrasi menyatakan per 12 Oktober 2020, pihaknya menerima 507 laporan kehilangan rekan pedemo tolak Omnibus Law baik dari kalangan buruh, mahasiswa, hingga jurnalis yang meliput.
Demonstrasi yang digelar masyarakat sipil tak mengubah keputusan yang telah dibuat DPR maupun pemerintah.
MK: UU Ciptaker Inkonstitusional Bersyarat
Setelah disahkan, sejumlah pihak ramai-ramai menggugat UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sepanjang 2021, UU Ciptaker menjadi salah satu Undang-Undang yang paling sering digugat.
Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Migrant CARE, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat, Mahkamah Adat Minangkabau, serta Muchtar Said.
Melalui putusannya, MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja itu cacat formil dan inkonstitusional Bersyarat.
Putusan yang tertuang dalam 91/PUU-XVIII/2020 ini merupakan sejarah baru. Pasalnya, MK untuk pertama kalinya menyatakan suatu UU cacat secara formil.
"Untuk pertama kalinya sejak berdiri, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan untuk sebagian permohonan uji formil," dikutip dari laman MK, Jumat (30/12).
Dalam putusannya itu, MK juga menyinggung akan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
MK memberikan tenggat waktu dua tahun kepada pemerintah dan DPR sejak pembacaan putusan untuk melakukan perbaikan.
"Menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan," kata Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan putusan, 25 November 2021.
"Menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini," sambungnya.
DPR Justru Revisi UU PPP
Alih-alih merevisi UU Cipta Kerja, DPR dan pemerintah justru kompak merevisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (RUU PPP).
DPR secara resmi mengesahkan revisi Undang-Undang PPP yang menjadi landasan hukum UU Omnibus Law Cipta Kerja, pada 24 Mei 2022. Pengesahan itu diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-23 masa sidang V tahun sidang 2021-2022.
"Apakah RUU tentang perubahan kedua atas UU nomor 13 tahun 2011 tentang PPP dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?" ujar Puan dan dijawab setuju serentak oleh peserta rapat.
Puan sebelumnya menyebut revisi UU PPP dilakukan pemerintah dan DPR karena tidak mengatur mekanisme pembentukan UU secara omnibus law atau gabungan.
Revisi UU PPP nantinya akan menjadi landasan hukum untuk memperbaiki UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam amar putusannya, MK sebelumnya agar UU Cipta Kerja diperbaiki dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan.
Jika dalam tenggang waktu tersebut tidak diperbaiki, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Jokowi Keluarkan Perppu
Teranyar, Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja untuk menjawab putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
"Hari ini telah diterbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 dan tertanggal 30 Desember 2022," kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (30/12).
Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan perppu ini sekaligus menggugurkan status inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja.
"Perppu itu setara dengan undang-undang di peraturan hukum kita. Kalau ada alasan mendesak, bisa," ujarnya.
Mahfud menyampaikan, beberapa alasan mendesak yang melatarbelakangi Perppu Cipta Kerja adalah dampak perang Ukraina-Rusia dan ancaman inflasi dan stagflasi yang menghantui Indonesia. [cnnindonesia]