Hukum Mencintai Pemain Bola Kafir
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : المرء مع من أحب ( متفق عليه )
Artinya: "Seseorang akan dikumpulkan bersama dengan orang yang ia cintai."
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ ( متفق عليه )
Artinya: "Engkau akan bersama dengan siapa yg engkau cintai."
Jika dipahami secara tekstual, hadis diatas berarti; seorang mukmin yang mencintai orang kafir akan bersama orang kafir nanti di neraka. Dan sebaliknya, seorang kafir yang mencintai seorang muslim akan masuk surga juga bersama seorang muslim. Kasus seperti ini bisa saja terjadi pada seorang ayah non muslim yang mencintai anaknya yang muslim atau sebaliknya.
Benarkah demikian?
Para ulama mengatakan bahwa cinta yang bertentangan dengan "wala' wa albara'" dan yang menjerumuskan seseorang ke neraka itu adalah cinta fi atau li diinihi (karena agamanya) bukan cinta karena akhlaknya yang baik, karena bentuk fisiknya yang ganteng atau cantik, atau karena naluriah sebagaimana yang ada pada hubungan kekeluargaan dan kekerabatan.
Rasulullah Saw mencintai pamannya Abu Thalib sampai Allah ingatkan dengan firman-nya:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْت
"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai." [QS 28: 56]
Rasulullah Saw juga mencintai kedua orangtuanya (yang menurut sebagian ulama, mereka tidak termasuk mukmin) sehingga Rasulullah Saw dilarang untuk meminta ampun kepada keduanya sebagaimana disebutkan dalam shahih muslim.
Allah SWT juga membolehkan seorang muslim menikahi ahli kitab, dan sudah lumrah dipahami bahwa biasanya pernikahan didasari oleh cinta atau akan menumbuhkan cinta.
Karenanya, para ulama mengatakan bahwa mencintai pemain bola karena kepiawaiannya bermain tidak masuk dalam bab mencintai orang kafir yang dilarang alias boleh-boleh saja.
Sebagian lain tetap mengharamkannya karena alasan "Saddudz Dzariah". Karena orang yang mencintai biasanya atau ditakutkan akan mengikuti orang yang dia cintai pada hal-hal yang diharamkan atau bahkan pada kekafiran.
Wallahu A'lam.
(Taufik M Yusuf Njong)