Smith Alhadar - Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
Negara-negara demokrasi maju bisa menghadirkan stabilitas, kemakmuran, dan peradaban besar karena mereka menciptakan dan berpegang pada sistem yang inklusif, yang memungkinkan terciptanya kesempatan bagi munculnya pribadi-pribadi besar dari sisi moral dan pikiran.
Sistem itu juga dibuat sedemikian rupa agar menjamin semua anak bangsa, dari pemimpin puncak hingga gelandangan, taat pada aturan main, menjaga kelangsungan demokrasi, dan mengatur perebutan kekuasaan secara damai melalui pemilu yang berlangsung secara terbuka, jujur, dan adil. Pemimpin atau calon pemimpin yang coba melanggar UU dan norma itu akan dilawan oleh rakyat. Kekalahan Donald Trump dari Joe Biden adalah salah satu contohnya.
Tetapi di negeri ini, kendati aturan main dan norma berdasarkan asas fairnes telah tersedia, pemimpin tak segan melanggarnya. Anehnya, simpatisannya — yang notabenenya adalah rakyat — justru mendukungnya. Tak kalah aneh, outgoing leader sibuk mempromosikan calon pemimpin yang akan melanjutkan program pembangunannya meskipun program pembangunan dan kebijakannya dinilai gagal oleh orang-orang pandai.
Saking sibuknya mengurus pilpres 2024 sampai-sampai nestapa rakyat Cianjur yang dihantam gempa bumi terabaikan. Padahal, sistem demokrasi meniscayakan adanya sirkulasi kepempinan nasional secara teratur dalam periode tertentu untuk mencegah lahirnya otoratarianisme, korupsi, mengoreksi kesalahan pemimpin sebelumnya, dan membuka jalan bagi calon pemimpin baru dengan visi dan misi baru sesuai tantangan baru.
Hari ini pelanggaran terang-terangan terhadap prinsip fairnes sedang dipertontonkan penguasa. Aktivitas Anies Baswedan, salah satu aspiran capres yang didukung rakyat, terus saja diganggu. Karena tak dapat mencegah pergerakannya, diduga penguasa pusat menggunakan tangan gubernur untuk membatasi ruang geraknya.
Sebut saja jadwal Anies bertemu relawan di ruang terbuka di berbagai daerah dihentikan pemda. Sementara, Presiden Jokowi yang mandatnya akan berakhir selamanya karena dibatasi konstitusi justru bersemangat bertemu relawannya di berbagai tempat. Relawan ini difungsikan untuk mempengaruhi parpol dalam mencapreskan tokoh yang ditunjuk Jokowi. Selanjutnya, mereka akan berjuang hidup mati untuk memenangkan tokoh itu. Di negara demokrasi maju dan beradab hal seperti ini dianggap tidak etis dan melanggar norma demokrasi.
Penjegalan Anies bertemu massa besar simpatisannya di lapangan terbuka, yang akan mendapat liputan media secara luas, dikhawatirkan meningkatkan populer Anies, tokoh yang dipandang antitesa Jokowi. Artinya, visi dan misi Anies dipandang berkonsekuensi pada perubahan paradigma dan orientasi program pembangunan dan kebijakan negara. Kebetulan dukungan rakyat pada mantan gubernur DKI Jakarta itu cenderung meningkat belakangan ini.
Sebenarnya, upaya penjegalan Anies sudah lama terjadi. Misalnya, BUMN diperintahkan tidak mensponsori ajang balap mobil listrik Formula-E yang diselenggarakan Pemprov DKI pada Juni silam. Lalu, santer diberitakan istana menekan KPK agar segera menetapkan Anies sebagai tersangka dalam kasus Formula-E.
Pembentukan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) juga dikabarkan bertujuan untuk menutup peluang Anies dicapreskan PPP, PAN, dan Golkar. KIB diniatkan menjadi sekoci bagi Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng, kalau dia tak dicapreskan PDI-P. Ganjar adalah aspiran capres dengan elektabilitas tinggi yang berkomitmen melanjutkan program pembangunan Jokowi.
Dukungan pada Ganjar terlihat jelas ketika dalam acara relawan Nusantara Bersatu di Stadion Utama GBK pada 26 November silam, Jokowi meminta mereka mendukung figur berwajah kerut dan berambut putih semua. Ciri-ciri ini, menurut Jokowi, menunjukkan tokoh itu banyak berpikir dan bekerja untuk rakyat meskipun banyak napi politik yang berciri seperti ini akibat stress di penjara.
Bagaimanapun, ciri-ciri itu menggiring publik pada asumsi bahwa yang dirujuk Jokowi adalah Ganjar. Toh, pada Mei silam, dalam acara relawan Projo di Magelang di mana Jokowi berpidato dan dihadiri Ganjar, presiden mengatakan pemimpin penggantinya ada di sini. Saat itu, Anies dan Prabowo tidak ada di sana.
Nampaknya, Jokowi memanfaatkan budaya politik rakyat Indonesia yang sebagian besar merupakan pemilih sosiologis. Dengan budaya ini, track record, integritas, prestasi, dan kapasitas pemimpin tak dijadikan pertimbangan utama. Faktanya, Ganjar konsisten berada di tiga besar aspiran capres meskipun prestasinya jeblok. Lihat, selama sembilan tahun memimpin, Jateng merupakan provinsi termiskin di Pulau Jawa.
Berikut, kalau melihat kasus kekerasan di Desa Wadas, Jateng, memang komitmen Ganjar pada kepentingan wong cilik diragukan. Sebaliknya, kepentingan pemodal lebih diprioritaskan. Dalam kasus itu, Ganjar mengirim aparat bersenjata lengkap yang diduga untuk mengintimidasi warga desa itu yang tak mau melepaskan lahannya untuk dijadikan tambang batu andesit yang akan digunakan membangun bendungan di sana. Menurut UU, tanah rakyat dilarang dibebaskan untuk keperluan pertambangan. Maka, para pengurus PDI-P di mana Ganjar adalah kadernya ramai-ramai mengecamnya. Ganjar yang dianggap ambisius karena kebelet menjadi presiden memang tak dikehendaki untuk menjadi capres PDI-P. Masih tentang Ganjar, dalam kasus mega korupsi E-KTP, gubernur Jateng itu disebut-sebut menerima lebih dari 500 ribu dollar AS.
Terkait rambut putih dan wajah berkerut, Jokowi “meralatnya” dengan humor yang vulgar dan pahit. Saat memberikan keterangan seusai meninjau Asrama Mahasiswa Nusantara di Surabaya pada 29 November, Jokowi mengatakan Prabowo memiliki kriteria pemimpin yang memikirkan rakyat. Menurutnya, Prabowo memiliki kerutan di wajah. Juga, katanya, sebagian rambut Prabowo sudah memutih. “Tadi sudah saya cek. Ternyata ada kerutan diwajahnya dan rambutnya sudah ada yang putih,” katanya.
Pernyataan ini terkesan hanya main-main. Lelucon yang tak lucu. Toh, tiga hari sebelumnya ketika berpidato di GBK, Jokowi belum tahu bahwa wajah Prabowo — menterinya yang hampir tiap hari bertemu dia — berkerut dan rambutnya sudah ada yang putih. Sementara seluruh rakyat Indonesia tahu bahwa aspiran capres dengan ciri-ciri yang disebut Jokowi adalah Ganjar. Lagi pula, dalam konteks menjaga dan melanjutkan legacy-nya, nyaris mustahil Jokowi menghendaki Prabowo (bekas musuhnya) menjadi penggantinya.
Timbul pertanyaan: apakah upaya Jokowi menjegal Anies akan berhasil? Sejarah politik modern Indonesia menyajikan kepada kita fakta bahwa tokoh yang dizalimi akan meningkatkan populeritasnya. Usaha Orde Baru menyingkirkan Megawati Soekarnoutri dari panggung politik nasional dengan membatalkan hasil kongres PDI yang telah memilihnya justru melambungkan namanya.
Hasil pemilu pertama pasca Orde Baru pada 1999 mengkonfirmasi hal itu. PDI-P meraup hingga 33 persen suara nasional, hasil yang belum pernah dicapai parpol manapun sejak itu. Contoh lain, SBY sukses menjungkalkan Mega dalam pilpres langsung berturut-turut (2004 dan 2009) karena beliau dianggap mazlum atau orang yang diperlakukan tidak adil.
Nampaknya, Jokowi tak mengambil hikmah dari dua kasus itu. Memang populeritas Anies didapat dari track record, integritas, dan prestasinya ketika memimpin Jakarta selama lima tahun. Tapi penzaliman yang dihadapinya saat ini tak ayal akan memberikan insentif elektoral kepadanya. Dengan begitu, potensi Anies memenangkan pilpres membesar.
Walaupun demikian, rakyat harus meningkatkan kewaspadaan terhadap proses pilpres sejak awal untuk memastikan hajat nasional itu berjalan terbuka, jujur, dan adil, mengingat penguasa dan oligarki berkepentingan atas terpeliharanya status quo. Dus, bisa diduga usaha menjegal Anies masih akan berlangsung, malah kemungkinan akan makin intensif.
Bagi mereka, taruhannya terlalu besar kalau capres yang cerdas, berintegritas, dan independen memenangkan pertarungan. Tentu saja mereka tak perduli bahwa usaha mengatur siapa yang boleh dan siapa yang tidak boleh jadi capreskan akan mendegradasi demokrasi kita yang masih cacat. Persetan dengan nasib rakyat, yang penting kepentingan mereka langgeng.
Lebih daripada itu — kalau upaya mereka berhasil — yang dirugikan terutama bukan Anies, tapi rakyat Indonesia secara keseluruhan. Terlebih kalau yang menjadi presiden orang yang tak berprestasi, komitmen demokrasinya rendah, kapasitasnya dipertanyakan, dan integritasnya diragukan.
Padahal, pemerintahan Jokowi akan meninggalkan pekerjaan rumah yang berat, baik lantaran hantaman covid-19, perang Ukraina, dan pembangunan infrastruktur dengan utang yang besar, boros, dan tidak proporsional. Diperlukan pemimpin baru yang punya kapasitas intelektual dan leadership mumpuni untuk membenahi dan merestorasi keterpurukan negara demi martabat dan kejayaan rakyat, bangsa, dan negara. [suaranasional]
Tangsel, 3 Nov 2022