Entah sejak kapan, lembaga-lembaga pendidikan (pesantren) yang intensif dan khusus mempelajari turats (baca; kitab kuning) perlahan mulai kurang diminati oleh para orang tua dengan berbagai alasan, diantaranya karena lulusannya dianggap kurang menguasai teknologi dan kurang mampu bersaing di dunia nyata.
Sebagai alternatif, kemudian bermunculan pesantren-pesantren terpadu dan pesantren-pesantren tradisional yang mulai berbenah dan memasukkan pelajaran umum dalam KBM (Kegiatan Belajar Mengajar).
Lalu muncullah Sekolah-Sekolah Islam terpadu yang digagas banyak aktifis dakwah dan menjadi alternatif bagi para orang tua yang ingin anaknya melek teknologi dan sains namun tetap punya kepribadian islami, terutama mereka dari golongan menengah ke atas.
Perubahan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di Timur Tengah termasuk Al-Azhar Syarif misalnya yang banyak berbenah.
Meskipun demikian, tetap ada sebagian lembaga-lembaga pendidikan (pesantren) yang keukeuh mempertahankan kurikulum klasiknya. Di Timur Tengah, Mahdharah Mauritania adalah salah satu contohnya.
Pendidikan Islam terpadu sendiri bukan tanpa cela, oleh sebagian kalangan tradisionalis, ia bahkan dianggap sebagai salah satu faktor matinya kepakaran dalam menguasai dan menganalisis turats.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa sebagian lulusan lembaga-lembaga pendidikan Islam terpadu lemah dalam penguasaan disiplin ilmu-ilmu alat (gramatika Arab) yang kemudian berpengaruh pada lemahnya penguasaan terhadap disiplin ilmu fiqih (misalnya) terlebih lagi ilmu-ilmu seperti Ushul Fiqih dan Maqashid.
Mungkin inilah sebabnya sebagian gerakan-gerakan Islam sangat subur melahirkan para da'i dan cendekiawan-cendekiawan muslim namun jarang melahirkan para Ulama Syar'i yang pakar di bidangnya.
Anehnya, banyak para ulama-ulama kita di masa silam ternyata mereka menguasai ilmu-ilmu Syar'i dan Non Syar'i sekaligus. Al-Ghazali misalnya yang dianggap sebagai salah satu teolog dan filosof bahkan menganggap bahwa ilmu-ilmu non Syar'i seperti kedokteran dan lain-lain sebagai ilmu fardhu kifayah yang harus dipelajari oleh umat Islam.
Lalu apa yang salah dengan kurikulum kita?
Terlepas pro-kontra kurikulum mana yang paling baik, sepertinya lembaga-lembaga pendidikan yang fokus pada penguasaan terhadap ilmu-ilmu alat yang mumpuni hingga mampu menguasai dan menganalisis khazanah klasik para ulama Islam di masa silam tetap harus dilestarikan, dipertahankan dan didukung bersama-sama.
Dan saya pikir, membuat perlombaan-perlombaan membaca kitab kuning adalah salah satu wasilah (sarana) agar kepakaran ini tidak dipandang sebelah mata dan semoga bisa ditiru oleh lembaga dan ormas-ormas lain.
Wallahu A'lam.
(Taufik M Yusuf Njong)