[PORTAL-ISLAM.ID] Narasi yang disampaikan Ahok, itu jelas menyasar Anies Baswedan, yang 5 tahun sebagai Gubernur DKI Jakarta. Meski Ahok tidak menyebut nama Anies di sana, tapi jelas itu ditujukan pada Anies sebagai “orang pintar ngomong (tidak) untuk kerja”.
Semua berharap pandai berbicara. Tak satu pun manusia tak menginginkannya. Bicara runtut dengan aksentuasi terjaga. Berbicara yang jika mungkin mampu memukau pendengarnya. Semua pastilah mendambakannya.
Pandai berbicara itu anugerah tak ternilai. Sayangnya tidak semua manusia pandai berbicara. Sampai-sampai perlu kursus public speaking segala, meski dengan biaya tak murah. Tak masalah. Terpenting setidaknya lancar berbicara, tak gagu saat tampil berbicara di depan khalayak ramai.
Tanya saja pada siapa pun, inginkah punya anak cucu yang pandai bicara–boleh juga jika mau pakai contoh seseorang–misal pandai berbicara seperti Anies Baswedan. Semua pasti inginkan, dan itu jadi dambaan. Bahkan jika pertanyaan sama ditanyakan pada Jokowi sekalipun, apa ia ingin anak cucunya pandai berbicara lebih dari dirinya. Pasti itu yang Jokowi inginkan.
Meski diri sendiri kurang pandai berbicara, bahkan gelagapan jika bicara, tetap menginginkan anak turunannya tak menyamainya. Itu keinginan manusiawi. Tentu ingin tidak sekadar pandai berbicara semata, tapi bicara dengan penuh tanggung jawab pada apa yang diucapkan, jauh dari dusta.
Anies Baswedan memang pandai berbicara sampai tingkat memukau. Tidak cukup sampai disitu, Anies punya kemampuan tidak sekadar berbicara dengan narasi terukur dan baik, tapi lebih dari itu, punya tanggung jawab pada apa yang diucapkan. Apa yang diucapkan dengan narasi yang baik, itu juga yang dikerjakan dengan hasil memukau.
Boleh juga disebut antara yang diucap dan dikerjakan sama baiknya. Atau boleh juga jika ingin menyebut, bahwa antara apa yang diucap dengan apa yang diperbuat senada seirama.
Kepribadian Anies memang tak berhenti sekadar pandai berbicara, tapi juga cakap bekerja. Itu bisa dilihat dari rekam jejaknya, sejak Anies muda sampai saat ia selaku Gubernur DKI Jakarta.
Tapi mereka yang tak suka Anies, karena sebab-sebab tertentu–bisa sebab persaingan politik yang tak sehat dan tak sepadan–Anies sering dipelesetkan pemimpin yang (cuma) pandai bicara. Pintar ngomong. Sebuah upaya menggiring publik punya konotasi negatif, yang terkesan Anies hanya pandai bicara.
Pandai bicara disebar mereka yang muncul jadi “musuh” Anies yang tak cakap bersaing, dipelesetkan jadi kesan tidak baik. Tapi tidak pada dirinya atau orang lain, cakap berbicara itu justru yang didamba.
Maka anugerah yang dipunya Anies, itu pun ingin dirusak dengan cara sinting tak semestinya. Kelebihan yang dipunya Anies, itu tak disebut sebagai anugerah bagi mereka yang seperti kalah bersaing sebelum pertandingan dimulai.
Kelebihan yang dipunya Anies, yang jika berbicara runtut, itu bagi mereka yang tak siap bertanding perlu menyeret orang lain menstigma Anies negatif. Anies jadi pihak yang dikesankan hanya pandai bicara. Ada pula yang nekat, tanpa rasa malu menambahkan, jika diberi pekerjaan tak bisa menyelesaikan. Meski nama Anies tak dimunculkan di situ.
Bersyukur makin ke sini, publik makin mengerti permainan politik busuk yang mereka mainkan. Publik sudah faham betul, bahwa makna pandai berbicara itu anugerah jika berkenaan dengan orang lain, tapi tidak untuk Anies Baswedan. Publik pun menjadi faham bangunan komunikasi yang dibuat mereka yang tak siap bertanding sportif.[wba]