PROYEK kereta cepat Jakarta-Bandung tak henti-hentinya dibayangi masalah finansial. Belum selesai urusan pembengkakan biaya pembangunan, proyek ini pun diperkirakan tekor atau mengalami cash deficiency dalam beberapa tahun awal pengoperasiannya.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh TEMPO, total potensi kerugian yang terjadi pada periode 2023-2061 bisa mencapai US$ 1 miliar atau sekitar Rp 15,6 triliun.
Dari dokumen tersebut terlihat bahwa tekor keuangan yang dialami PT Kereta Cepat Indonesia China atau KCIC pada masa operasi terjadi karena arus kas dari pengoperasian sepur lebih kecil dibanding pengeluaran untuk mencicil pelunasan utang dan bunga dari biaya pembangunan proyek tersebut. Pengeluaran yang dimaksudkan itu meliputi utang dari China Development Bank (CDB) untuk pembiayaan proyek sebelum terjadi pembengkakan (cost overrun), utang untuk pendanaan cost overrun, serta bunga utang.
Dokumen yang sama menyebutkan, pada delapan dari sepuluh tahun pertama pengoperasian kereta cepat Jakarta-Bandung, perusahaan akan tekor senilai total US$ 399 juta. Tekor pun masih akan terjadi pada sepuluh tahun kedua pengoperasian sepur kilat. Pada periode itu, sedikitnya pada empat tahun pengoperasian kereta cepat Jakarta-Bandung mengalami defisiensi kas, dengan nilai total US$ 584 juta. Selanjutnya, pada sepuluh tahun ketiga, kerugian diproyeksikan hanya terjadi sekali, yakni pada 2047, senilai US$ 39 juta. Operasi sepur kilat baru bebas dari defisiensi kas pada periode sepuluh tahun keempat dari awal pengoperasiannya.
“Itu pun dengan estimasi jumlah penumpang bisa mencapai 100 persen target atau 31 ribu penumpang per hari. Artinya, itu adalah angka (cash deficiency) minimum,” ujar sumber TEMPO yang mengetahui seluk-beluk proyek kereta berkecepatan 350 kilometer per jam itu, kemarin (4/11/2022).
Ia memperkirakan realisasi tekor operasi kereta kencang dengan jarak 142 kilometer tersebut bisa lebih besar lantaran target jumlah penumpang sebanyak 31 ribu per hari sulit dicapai.
Kepada TEMPO, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinasi Kemaritiman dan Investasi, Septian Hario Seto, membenarkan ihwal potensi terjadinya tekor operasi tersebut. Ia mengatakan defisit kas bisa terjadi, terutama apabila realisasi jumlah penumpang lebih sedikit dari estimasi awal alias shortfall.
“Itu akan ditanggung KAI sebagai pemimpin konsorsium, tapi kami tidak akan membiarkan begitu saja. Akan ada beberapa penguatan untuk keuangan mereka,” ujarnya tanpa merinci rencana penguatan yang dimaksud. Ia mengatakan perkara tekor operasi pun bisa disiasati dengan berbagai penyesuaian atau penghematan di masa depan.
Perihal target jumlah penumpang yang dianggap kelewat optimistis, Seto menuturkan, estimasi 31 ribu orang per hari sudah cukup konservatif. Mulanya, proyek tersebut ditargetkan bisa meraih 64 ribu penumpang per hari. Meski demikian, ia tidak memungkiri bahwa realisasi jumlah penumpang itu bisa lebih sedikit dari hasil studi yang dilakukan bersama Polar Universitas Indonesia tersebut. “Itu semua baru nanti bisa terlihat.”
Sumber TEMPO menyebutkan, kereta cepat Jakarta-Bandung punya sederet tantangan untuk bisa mencapai target keterisian penumpang.
Pertama, persaingan antara sepur kilat dan moda transportasi yang telah eksis, misalnya kereta api Argo Parahyangan, layanan angkutan travel, bus, hingga kendaraan pribadi. Musababnya, kendati menawarkan waktu tempuh yang lebih cepat, tiket kereta cepat bakal dibanderol di atas tarif berbagai moda tersebut, yakni sekitar Rp 200 ribu per orang. Selain itu, layanan kereta cepat terhambat aksesibilitas lantaran tidak sampai ke tengah Kota Bandung.
Rencana Menghapus KA Agro Parahyangan
Guna meraih jumlah penumpang sesuai dengan target, menurut dia, pemerintah bersama PT Kereta Api Indonesia (Persero) tengah mengkaji rencana penghapusan layanan KA Argo Parahyangan rute Jakarta-Bandung yang selama ini dibanderol sekitar Rp 100 ribu untuk kelas premium dan Rp 140 ribu untuk kelas eksekutif. Namun upaya itu pun diperkirakan masih belum cukup lantaran traffic KA Argo Parahyangan hanya sekitar 12 ribu penumpang per hari.
“Artinya, dari tahapan konstruksi hingga operasi, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung akan terus membebani PT KAI dan negara. Sulit untuk bisa menghindarkan kerugian pada masa operasi,” tuturnya.
Karena itu, salah satu upaya yang tengah dikaji untuk memperkuat PT KAI adalah menaikkan tarif angkutan batu bara. Kenaikan keuntungan dari siasat tersebut dianggap bisa menjadi bumper bagi perusahaan sepur pelat merah itu untuk menanggung boncos dari operasi kereta cepat Jakarta-Bandung.
TEMPO telah berupaya meminta konfirmasi ihwal informasi tersebut kepada Sekretaris Perusahaan PT KCIC Rahadian Ratry, Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo, Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api Kementerian Perhubungan Mohamad Risal Wasal, serta Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Kartika Wirdjoatmodjo. Namun, hingga laporan ini ditulis, pesan Tempo tidak berbalas.
Sebelumnya, potensi defisit kas pada masa awal pengoperasian kereta cepat sempat disampaikan Kartika dalam rapat bersama Komisi BUMN DPR pada pertengahan 2021. Kala itu, ia mengatakan Indonesia telah bernegosiasi dengan Cina agar cash deficiency support dapat dipenuhi melalui pinjaman KCIC dari CDB dengan jaminan oleh KAI. Namun, menurut sumber TEMPO yang mengetahui perkembangan proyek tersebut, wacana tersebut kini sudah menguap.
Potensi Merugi 30 Tahun
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, memperkirakan KCIC akan merugi selama 30 tahun ke depan. Hal itu disebabkan oleh pengembalian biaya belanja modal atau capital expenditure yang depresiasinya sekitar 30 tahun serta kenaikan biaya operasi setiap tahun akibat faktor inflasi, upah minimum, dan lainnya.
Dengan kondisi itu, ia menyarankan pemerintah dan KAI mengatur strategi guna mengalihkan penumpang dari moda lain, seperti KA Argo Parahyangan dan jalan tol, ke kereta cepat. Dengan demikian, target penumpang pada masa operasi bisa terpenuhi. “KAI harus bisa mengelola dan memilih skenario yang tepat untuk pemasaran kereta cepat,” ujar Deddy.
Adapun guru besar bidang transportasi dari Universitas Indonesia, Sutanto Soehodho, ragu estimasi jumlah penumpang harian kereta cepat itu bisa tercapai. Untuk moda kereta antarkota, menurut dia, estimasi 10 ribu penumpang per hari saja sudah cukup tinggi. Apalagi, ia mengatakan, kereta kilat itu tidak mengantar penumpang dari Jakarta ke Bandung, melainkan hanya sampai Padalarang.
Belum lagi moda transportasi anyar itu pun harus bersaing dengan moda-moda yang sudah ada saat ini. Faktor lainnya, ongkos kereta cepat jauh lebih tinggi ketimbang pilihan moda lainnya.
“Jadi, 31 ribu itu kurang masuk akal. Kalaupun Argo Parahyangan ditutup dan orang dipaksa naik kereta cepat, memangnya penumpangnya sampai 31 ribu?” ujarnya.
Sutanto pun sepakat bahwa, secara finansial, defisit kas yang perlu ditanggung KCIC bisa lebih tinggi dari proyeksi saat ini. Dari sisi ekonomi pun, ia menilai, kerugian finansial yang perlu ditanggung perseroan atau pemerintah nantinya menjadi kurang berarti karena tidak banyak wilayah yang menikmati dampak dari sepur kilat.
“Solusinya adalah proyek ini harus dikembangkan. Kalau hanya sampai Bandung, proyek ini kurang bermakna dalam hal ekonomi dan mungkin tidak berkelanjutan. Kita kurang hati-hati di situ,” ujar Sutanto.
(Sumber: Koran TEMPO, Sabtu, 05/11/2022)