Menjadi salah satu kesukaanku, nongkrong di angkringan. Mendengarkan obrolan orang-orang. Jangan salah, obrolan mereka bisa membahas banyak hal. Termasuk soal capres-capresan.
Misalnya kemarin sempat saya dengarkan, mereka membahas soal foto Pak Ganjar. Sebuah foto dimana Pak Ganjar dengan baju pesepeda lengkap dengan helm sedang makan pisang.
Bukan soal pisangnya yang bikin ramai, tapi makan dengan klesotan di lantai depan sebuah kios salon. Bukan duduk di kursi, seperti lazimnya kebanyakan orang.
Seperti biasa, setiap realita akan dimaknai sesuai dengan kebenaran yang ada pada jaringan sosialnya. Sementara pada jaringan sosial lain, maknanya pasti berbeda.
Soal foto itu, juga menjadi pro-kontra dalam memaknainya. Ada yang bilang Pak Ganjar memang merakyat, makan di lantai saja bisa. Sementara yang lain berpendapat, mau dicitrakan merakyat kok sampai segitu aktingnya. Sekali lagi, makna ada pada jaringan sosial masing-masing.
Tapi, di angkringan kemarin ada yang menarik dari sekedar pro-kontra tersebut. Karena ada yang berpendapat, tapi bukan sekedar berpendapat. Lebih dari itu, ia berpendapat sembari bercerita. Sebuah peristiwa yang hampir sama, namun dengan lakon berbeda.
***
Saat itu, dia sedang berjualan. Ia berposisi hampir sama dengan ibu penjual buah pisang di foto Pak Ganjar. Pada kejadian yang dia alami, ada pembeli tidak kebagian kursi dan terpaksa makan di trotoar. Begitu ia tahu kondisi itu, dia langsung mengambilkan kursi untuk pembeli yang tidak kebagian tempat itu.
"Itupun bukan pejabat yang terhormat lho, cuman pembeli biasa saja. Apalagi yang datang seorang gubernur. Tidak pakai diminta saja pastilah ibu itu akan dengan senang hati menyiapkan kursi. Toh, dalam foto itu nampak ada dua kursi nganggur di belakang sang ibu. Jadi, apapun motifnya kemungkinan besar memang Pak Ganjar yang tidak mau pakai kursi." katanya.
"Jadi sepertinya memang sengaja klesotan gitu, biar tampak merakyat ya pak?" imbuh bapak-bapak di angkringan itu.
"Ya bisa jadi pak. Soalnya ndak mungkin ibu itu tidak ngasih kursi. Aku pernah ngalami sendiri," jawab bapak yang sejak tadi bercerita pengalamannya itu. "Pasti dikasih kursi."
***
Sedang asyik-asyiknya kami ngobrol, tiba-tiba ada seorang pembeli datang ke angkringan tempat kami nongkrong. Laki-laki itu datang, langsung nyomot pisang goreng, sambil memesan minum.
"Teh jahe pak. Satu!"
"Siap bos" jawab penjual angkringan.
"Wah gak ada tempat duduk ya? Ada tikar pak? Mau numpang duduk" lanjut orang yang baru datang itu.
"Oh, ada bos. Sebentar saya ambilkan" jawab penjual angkringan.
Kami, yang sejak tadi asyik ngobrol kemudian saling berpandangan. Lalu pecah tawa bersama-sama.
"Wah, ini langsung ada contohnya di depan mata. Kalau saja mau nembung (bilang -red), ya pasti dikasih lah!" sahut bapak yang sejak tadi diam.
"Tapi kalau maunya gitu, ya bisa jadi malah bikin ibu penjual pisang itu "gelo" lho, karena seperti dikesankan tidak mau memberi kursi. Padahal, kalau ibu-ibu sudah "gelo", susah sembuhnya!" timpal bapak satunya.
"Jadi musti proporsional, empan-papan, tidak perlu berlebihan. Itu malah bikin sang ibu luluh hatinya. Jangan sampai malah dianggap fetakompli, bikin sang ibu sakit hati," sahut bapak lainnya.
"Nah, bener itu!" sahut bapak-bapak kompak.
Dan obrolan makin seru. Tidak cukup dua bungkus nasi kucing, musti nambah lagi. Beginilah obrolan angkringan, ringan namun mengenyangkan.
(Setiya Jogja)
*fb