Saya mau bicara sesuatu yang konkret saja daripada muak melihat sejumlah angle berita media massa yang begitu lebay mencitrakan sosok-sosok tertentu. Ada yang seragam menyebut Menteri BUMN Erick Thohir (ET) cawapres potensial tanpa catatan negatif dan kinerjanya bangkitkan ekonomi begitu membanggakan.
Tak hanya ET, banyak sosok yang lagi ramai diberitakan berpotensi nyapres/nyawapres, digambarkan dengan cara yang sedemikian berlebihan.
Tapi begitulah keadaannya. Politik kita masih dibangun di atas pondasi ilusi.
Pertanyaannya adalah dari mana asalnya uang untuk membangun ilusi-ilusi itu?
***
Kekuasaan/jabatan adalah instrumen menghasilkan uang. Oleh sebab itu berbondong-bondong orang mengejarnya. Masih ada waktu 1,5 tahun lagi menjelang pemilu dan saya pikir itu waktu yang masih sangat cukup untuk mengumpulkan dana politik melalui jabatan birokrasi.
Saya dengar tanggal 23 November 2022 nanti akan ada reshuffle kabinet. Menteri-menteri yang berasal dari partai yang dinilai 'tidak patuh' garis komando akan diganti. Pos-pos seperti Menkominfo, Menteri KLHK, Menteri Pertanian adalah beberapa yang kabarnya akan dirombak.
Tak peduli sosok dari partai apa yang akan masuk, secara mata telanjang kita bisa menilai ketiga pos itu merupakan pos basah sebab di situlah bercokol kewenangan perizinan komunikasi informatika, kehutanan, lahan pertanian, subsidi pupuk, ekspor-impor dst. Potensi transaksi kekuasaan birokrasi-swasta sangat tinggi. Transaksi berarti ada uang di situ. Politik butuh bensin.
Dengan logika yang sama maka bisa Anda bayangkan betapa empuknya posisi Menteri BUMN yang membawahkan 92 BUMN beraset total Rp8.978,1 triliun per 2021. Rasanya kalau hanya menghubungi satu dua komisaris/direksi BUMN untuk menyumbang Alphard untuk tokoh masyarakat yang sedang dirayu untuk mendukungnya dalam pemilu adalah hal yang mudah.
Itu contoh kecil saja.
***
Uang cepat lainnya adalah berkedok investasi negara melalui lembaga seperti Lembaga Pengelola Investasi (LPI), BUMN, dana jaminan sosial, dan sejenisnya. Di LPI ada anggaran dari APBN sebesar Rp75 triliun/tahun. Tapi, saya lihat, yang terdekat untuk diolah adalah saham GOTO, yang lock-up-nya dibuka pada 30 November 2022.
Total lembar saham GOTO adalah 1 triliunan lembar dan 90%-nya boleh dijual. Termasuk 1 miliaran lembar milik kakak Menteri BUMN dan 300 miliaran lembar milik tiga badan usaha asing pemegang mayoritas yang dikendalikan oleh Softbank dan Alibaba.
Jika dijual pada harga Rp200/lembar maka kakak si menteri dapat Rp200 miliaran. Tiga badan asing itu dapat Rp60 triliunan. Asal tahu saja, modal mereka Rp1/lembar. Perusahaan baru berdiri tujuh tahun lalu (2015). Modal ditempatkan dan disetor penuhnya ketika itu cuma Rp2,5 triliun. GOTO sudah 'dibantu' Telkomsel Rp6,4 triliun. Tapi, sudah dibantu begitu, perusahaan ini tak juga untung sejak didirikan dan kerugian akumulatifnya hampir mencapai Rp100 triliun per September 2022.
GOTO sudah mengumumkan rencana pelepasan saham investor awal (Softbank dan Alibaba) senilai US$1 miliar (Rp15,5 triliun) setelah pembukaan lock-up. Itu setara 1/4 dari nilai portofolio asing-asing tersebut di GOTO. Akal sehat kita dengan mudah melihat bahwa orang-orang itu mau segera ambil untung. Memang begitulah venture capital bekerja.
Masalahnya siapa yang mau disuruh beli saham senilai Rp15,5 triliun di sebuah perusahaan yang ruginya hampir Rp100 triliun itu?
Nah, silakan saja para pejabat dan politisi berakrobat bersama swasta-swasta. Silakan kemukakan berbagai dalih untuk menggunakan dana BUMN/anaknya, dana jaminan sosial, dana investasi pemerintah atau dana lembaga negara lainnya untuk memperkaya asing-asing itu, dengan masuk membeli saham GOTO.
Toh, yang Anda cari kan hanya fee/komisi untuk mendanai aktivitas politik menjelang pemilu.
Rakyat niscaya paham mentalitas pejabat/politisi kita masih sebatas mentalitas makelar!
***
Modus mengail logistik lainnya adalah perkara. Melalui 'politik hukum' didapat dua benefit: 1) memukul/mengunci lawan politik yang diduga terlibat kasus; 2) justifikasi untuk mengeluarkan dana atas nama penanganan perkara dan sejenisnya.
Sudah jadi rahasia umum bahwa agar dana BUMN cair terkadang perlu didorong dengan kasus hukum. Malah terkadang dari pihak BUMN sendiri yang meminta agar mereka digugat supaya mereka memiliki justifikasi untuk pencairan uang. Silakan tanya kepada para advokat yang sering berhubungan dengan BUMN.
Saya dengar informasi dalam waktu dekat penegak hukum seperti polisi, kejaksaan, dan KPK akan semakin gencar menaikkan kasus yang diduga melibatkan orang-orang yang namanya muncul sebagai kandidat dalam pemilu nanti. Saya coba tanya ke sumber saya, apakah kasus-kasus yang selama ini saya tulis masuk dalam daftar yang akan diusut (kasus Prakerja, investasi BUMN di saham GOTO, kasus Rekind-PAU), katanya, kemungkinan itu ada.
Tapi kelihatannya, selain kasus Formula E yang menyasar Anies Baswedan, akan ada serangan terhadap kasus-kasus yang 'mudah dipahami' masyarakat alias populis. Contohnya: subsidi pupuk! Jika demikian adanya, akan seru. Sebab, masalah penyaluran pupuk subsidi diduga juga berkaitan dengan perusahaan-perusahaan yang dikendalikan sejumlah anggota parlemen. Bisa juga berhubungan dengan dana pemeliharaan pabrik pupuk yang nilainya Rp90-an triliun per tahun dan di belakangnya ada perusahaan yang diduga terafiliasi dengan seorang ketua umum parpol.
Dalam hal ini, Presiden memiliki keuntungan lebih sebab lembaga penegak hukum secara struktural berada di bawahnya. KPK pun merupakan rumpun eksekutif.
Tapi apa iya Presiden mau membabat kasus yang diduga melibatkan sekutu dan menteri kesayangannya itu?
Kalau saya pakai pikiran praktis mungkin lebih 'strategis' menjadikan seseorang sebagai ATM politik dengan menggunakan kasus sebagai kartu truf.
***
Ya, demikianlah sekilas kabar yang mau saya sampaikan. Semoga membantu Anda untuk memberikan perspektif lain di balik berita-berita memuakkan tentang pencitraan politik yang marak belakangan ini.
Salam.
(Agustinus Edy Kristianto)