PUTUSAN Mahkamah Konstitusi agar menteri tak mengundurkan diri saat mengikuti pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden membuktikan kuatnya cengkeraman partai politik di lembaga yudikatif. Institusi peradilan yang dipimpin oleh Anwar Usman, adik ipar Presiden Joko Widodo, ini memantapkan perannya sebagai tunggangan politikus.
Mahkamah Konstitusi menghapus frasa “pejabat negara” dalam Pasal 170 ayat 1 Undang-Undang Pemilu pada Senin, 31 Oktober 2022. Permohonan uji materi ini diajukan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda) pada pertengahan Juli lalu. Pejabat negara kerap ditafsirkan sebagai menteri karena jabatan lain disebut secara eksplisit dalam pasal tersebut. Mereka beralasan bahwa UUD 1945 menjamin setiap orang berhak mencalonkan diri menjadi presiden. Majelis hakim yang juga diketuai Anwar itu mengamini argumentasi ini.
Penghapusan frasa “pejabat negara” justru memperburuk sistem demokrasi. Banyak menteri Jokowi yang juga merangkap ketua partai politik. Mereka adalah partai pendukung Jokowi dan tengah berancang-ancang mengikuti pencalonan dalam pemilihan presiden 2024. Dengan dicabutnya larangan itu, potensi pelanggaran kode etik dan konflik kepentingan sangat tinggi. Misalnya, penggunaan fasilitas negara saat berkampanye menjadi salah seorang kandidat capres.
Sampai saat ini, baru Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra sekaligus Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang secara resmi mendeklarasikan pencalonannya. Ketua Partai Golkar sekaligus Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, juga dikabarkan akan mencalonkan diri. Yang sudah terbuka tapi masih malu-malu adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. Sementara, kinerja mereka di kabinet Jokowi masih minim.
Seorang menteri yang bertarung pada pemilihan presiden, dipastikan tidak akan memiliki konsentrasi cukup untuk menjalankan tugas pokok secara maksimal. Etikanya, mereka sebaiknya mundur ketika sudah memastikan diri sebagai calon presiden. Mereka digaji negara untuk memakmurkan masyarakat. Kinerja mereka dipastikan semakin buruk karena perhatiannya tercurah untuk berkampanye.
Tanda-tanda rusaknya tatanan demokrasi mulai terlihat saat Jokowi mengumumkan pemberian izin kepada para menteri yang akan menjadi calon anggota legislatif pada Juli lalu. Ia hanya meminta mereka cuti, tak perlu mundur sebagai menteri. UU Pemilu memang tak menyebutkan menteri harus mengundurkan diri dari jabatannya. Tapi, sebagai seorang presiden, Jokowi telah memberikan contoh buruk dalam penerapan demokrasi.
Dalam konsep trias politica, lembaga yudikatif seharusnya menjadi penyeimbang di antara manuver eksekutif atau pemerintah dan kelompok legislatif, dalam hal ini partai politik. Namun hal ini tak tecermin dalam kebijakan Mahkamah Konstitusi. Mereka kerap tak konsisten dalam menegakkan aturan main.
Misalnya, MK belasan kali menolak uji materi pasal yang mengatur ambang batas pencalonan presiden. Padahal UUD 1945 menjamin setiap warga negara untuk berpolitik. Dalam putusan lain, MK mengharuskan seorang anggota legislatif mundur jika menjadi calon kepala daerah. Di tangan mereka, antara keputusan politik dan putusan hukum menjadi samar-samar.
[Sumber: Editorial Koran Tempo, 02/11/2022]