Ilusi Presidensi KTT G20 Bali
PERNYATAAN Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan ihwal kemungkinan akhir Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali seperti membangunkan pemerintah dari mimpi yang dibikin sendiri.
Sejauh ini, pemerintah terlalu membesar-besarkan arti status presidensi Indonesia dalam KTT G20 hingga melampaui batas yang masuk akal.
Dalam jumpa pers pada Sabtu, 12 November 2022, Luhut mengatakan KTT G20 Bali bisa saja tidak menghasilkan komunike bersama para pemimpin negara anggota (leaders' declaration).
Seperti hendak menghibur diri, menurut Luhut, kegagalan menghasilkan komunike itu merupakan hal wajar karena situasi dunia saat ini sangat kompleks.
Memang situasi dunia sedang tidak menentu, terutama setelah invasi Rusia ke Ukraina. Soal itu, orang-orang sudah pada tahu, Pak Menteri. Tapi, bila pertemuan puncak di Bali gagal menghasilkan komunike bersama, itu akan menjadi yang pertama kalinya dalam sejarah KTT G20. Tahun lalu, di tengah tekanan pandemi Covid-19, KTT G20 di Roma, Italia, masih bisa menghasilkan komunike bersama.
Masalahnya, pemerintah Indonesia telanjur berlebihan mengartikan status presidensi sebagai prestasi luar biasa. Itu jelas salah kaprah. Presidensi alias ketua kepanitiaan KTT G20 adalah jatah yang diberikan bergantian, berdasarkan abjad negara anggota. Untuk presidensi kali ini, Indonesia juga hanya bertukar tempat dengan India.
Sikap berlebihan, misalnya, terlihat ketika Presiden Joko Widodo hendak menjadikan KTT G20 sebagai ajang mendamaikan Rusia dan Ukraina. Padahal, sebagai forum “kongko” para pemimpin negara anggota, KTT G20 lebih banyak membicarakan urusan ekonomi dan pembangunan. Walhasil, harapan KTT G20 di Bali akan menjadi tempat untuk menyelesaikan konflik Rusia versus Ukraina adalah sebuah ilusi.
Gelagat bahwa KTT G20 tidak akan menghasilkan komunike bersama sejatinya bisa dibaca lebih awal. Dalam rangkaian pertemuan sebelum puncak KTT di Bali, rapat-rapat working group G20 selalu gagal menemukan kesepakatan ketika urusannya bersinggungan dengan invasi Rusia terhadap Ukraina. Delegasi negara-negara Barat meminta hal itu dimasukkan dalam draf kesepakatan, sedangkan delegasi Rusia dan pendukungnya selalu menolaknya. Di Bali, situasi serupa bisa terulang.
Pemerintah seharusnya lebih bersikap realistis. Indonesia cukup berusaha menjadi tuan rumah yang baik. Tak perlu membuai diri seolah-olah bisa memimpin dunia dengan memegang presidensi KTT G20. Karena itu, Indonesia seharusnya tidak jorjoran mengeluarkan biaya—yang tak kurang dari Rp 675 miliar—di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi serta ancaman resesi di depan mata. Tak ada juga urgensinya memaksakan pamer proyek mercusuar yang belum jadi, seperti Ibu Kota Negara baru dan kereta cepat Jakarta-Bandung, dalam perhelatan tersebut.
Yang lebih memalukan, demi menjaga citra presidensi G20, pemerintah Indonesia juga bersikap represif terhadap pelbagai kelompok masyarakat sipil. Pemerintah tak hanya membatasi kegiatan harian warga Bali. Lewat aparat dan kaki tangannya, pemerintah juga membungkam para aktivis lingkungan, lembaga bantuan hukum, dan bahkan seniman yang dicurigai akan menyuarakan kritik selama perhelatan KTT G20 di Bali.
Bangga menjadi tuan rumah pertemuan pemimpin negara G20 boleh-boleh saja. Tapi, apa gunanya kebanggaan semu yang dibayar mahal dengan uang rakyat serta hilangnya kebebasan berpendapat?
(Sumber: Editorial Koran Tempo, Senin 14-11-2022)