Biaya kereta cepat membengkak. China suruh Indonesia yang menanggungnya. Lha kok bisa?
Proyek kereta cepat itu sudah gak bisa dicancel. Karena RI-China sudah diikat oleh perjanjian. Jika salah satu pihak membatalkan, bisa digugat ke pengadilan arbitrase internasional. Cukuplah dijadikan pelajaran buat penguasa selanjutnya. Lain kali kalau mau kerjasama dengan Negara lain mbok ya hati-hati, jangan sampai dikadali seperti ini.
Sudah kita ketahui bersama lewat berbagai pemberitaan media massa, biaya pembuatan kereta cepat Jakarta - Bandung membengkak. Tapi kok malah pemerintah RI yang menanggung miskalkulasi tersebut? Ini sama sekali gak wajar. Dimana-mana, yang namanya pemenang tender sebuah proyek mesti membuat RAB. Kalau terjadi pembengkakan melebihi budget awal, pemboronglah yang mesti nombok kekurangannya.
Contoh: lu buat rumah menggunakan jasa developer. Diawal, mereka membuat desain, spesifikasi teknis dan rincian biaya. Disepakati biayanya 1 miyar rupiah lewat tiga kali pembayaran.
Saat proses pembangunan, ternyata budget membengkak karena terjadi krisis moneter. Harga bahan baku tiba-tiba mengalami kenaikan signifikan. Hal ini ternyata tidak diatur dalam perjanjian. MoU antara pihak developer dan client hanya mengatur bila terjadi force majeure seperti bencana alam, bukan inflasi. Maka developer mesti bertanggung jawab penuh menyelesaikan pembangunan rumah walaupun sudah pasti merugi.
Gue cuma heran aja sih, kenapa pemerintah RI bisa dikadali sama China? SDM Indonesia ini beraneka ragam. Saat bekerjasama dengan Negara lain, pemerintah bisa membentuk tim yang terdiri dari orang-orang pilihan. Pastikan mereka punya integritas dan jiwa nasionalisme yang tinggi. Last but not least, cerdas dalam bidang eksak dan hukum perdata.
Indonesia punya suku Minang, suku Madura, turunan Arab dan turunan Tionghoa yang rigid dalam hitung-hitungan bisnis. Sedari dulu kala mereka sudah terkenal sebagai saudagar handal. Ada juga suku Batak yang ahli dalam berdebat, banyak menghasilkan lawyer papan atas. Komposisi dari 5 suku bangsa itulah yang seharusnya bertugas membedah proposal bisnis dari China. Sekiranya berpotensi merugikan Indonesia, ya ditolak. Toh masih banyak Negara lain yang menguasai teknologi pembuatan kereta cepat.
Coba kita simak lagi kronologis proyek kereta cepat:
2015. Jokowi mencetuskan ide pengen buat kereta cepat Jakarta - Bandung.
2016. Jepang dan China mengajukan proposal penawaran. Kentara aroma pat gulipat dalam tender kereta cepat. Ignasius Jonan sebagai Menhub kala itu dengan tegas menolak proyek tersebut. Juli 2016, Jonan di reshuffle dari kabinet Jokowi.
2017. China ditetapkan sebagai pemenang tender, walaupun harga yang ditawarkan lebih mahal dari Jepang. RI dan China membuat MoU, kedua belah pihak sepakat biaya pembuatan kereta cepat Jakarta - Bandung dianggarkan sebesar 86,5 trilyun rupiah.
2020-2021. Pengerjaan proyek kereta cepat tertunda karena pandemi global dan carut marut pembebasan tanah.
2022. China mengajukan revisi, biaya pembuatan kereta cepat membengkak jadi 114,2 trilyun rupiah. Ada over run sebesar 27,7 trilyun rupiah. China Development Bank (CDB) meminta pemerintah RI untuk menanggung pembengkakan biaya tersebut.
Anehnya, pemerintah RI kok mau aja sih? Apakah klausul pembengkakan biaya diatur dalam MoU? Apakah memang Indonesia yang harus bertanggung jawab bila RAB yang dibuat China meleset dari estimasi awal?
Disinilah diperlukan kepiawaian seorang lawyer suku Batak yang paham dan cermat dalam membaca kontrak perjanjian bisnis.
Diperlukan juga orang Minang, orang Madura, turunan Arab dan turunan Tionghoa yang sudah terbiasa berniaga barang apa saja.
Presiden boleh jadi tak paham apa-apa. Tapi kabinet, staf ahli dan pejabat dibawahnya mesti diisi oleh orang-orang cerdas. Sah-sah saja Indonesia menjalin kerjasama dalam bidang apapun dengan China, USA, Rusia, Arab Saudi, India, UEA, Jerman dan Negara lainnya. Tapi prinsip kehati-hatian mesti dijaga.
Dalam bisnis yang melibatkan uang miliaran dollar tak ada istilah kakak besar atau saudara se-iman. Ini murni perkara nyari laba. Jangan sampai China ketawa, Indonesia malah menderita.
(By Ruby Kay)