Pembaca yang budiman, belakangan tak jarang kita dengar sejumlah orang menjadikan kebaya sebagai simbol menolak yang mereka persepsikan sebagai Arabisasi dan Islamisasi di Indonesia. Pakaian atas perempuan berkancing depan yang kerap dipadukan dengan kain di bagian bawah itu dikira murni produk Nusantara. Benarkah demikian?
Dalam artikel di Jurnal Arkeologi Malaysia edisi 2013. Haziyah Hussin dkk meyakini bahwa merujuk catatan arkeologis, perempuan-perempuan di Nusantara hanya memakai sejenis kemben pada awal abad ke-13. Jamaknya, berbentuk kain yang dililitkan hingga bagian dada saja.
Sedangkan Triyanto, pengajar pada Jurusan Pendidikan Teknik Boga dan Busana Universitas Negeri Yogyakarta dalam artikelnya "Kebaya Sebagai Trend Busana Wanita Indonesia" juga mencatat bahwa penelitian pada relief-relief di candi Hindu-Jawa, termasuk dari zaman Majapahit, cukup membuktikan bahwa baik lelaki maupun perempuan hanya mengenal busana kain lipat.
Mengapa kemudian cara berpakaian itu berubah? Ini ada kaitannya dengan munculnya risalah di Arabia pada abad ke-7 Masehi. Risalah yang kemudian nantinya disebut agama Islam itu mensyaratkan pakaian yang sopan baik bagi perempuan maupun lelaki. Jenis-jenis pakaian yang lebih tertutup kemudian menyebar ke seantero wilayah penyebaran Islam.
Perempuan di Arabia jamak mengenakan jenis pakaian belah depan panjang yang dinamai Habaya atau Abaya, perempuan di Mesir mengenakan pakaian serupa yang dinamai Jubba, perempuan di Turki mengenakan Akibiya al Turkiyya. Corak pakaian itu juga memengaruhi wilayah-wilayah lain seperti Persia, India, Cina, dan Semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal) yang sempat ratusan tahun merupakan kerajaan Islam.
Sejumlah sejarawan meyakini, dari situlah kemudian perempuan Nusantara akhirnya juga berkebaya.
Pada 1886, orientalis Henry Yule dan Arthur Burnell berpandangan bahwa kata "kebaya" berasal dari kata Arab "qaba" yang merujuk pada semacam kemeja longgar kancing depan. Mereka juga menyinggung bahwa Rasulullah pernah mendapat hadiah berupa "aqbiya" kata jamak dari "qaba".
Pakaian jenis itu diduga ikut tiba ke Indonesia sekitar abad ke-14/ke-15 seiring penyebaran Islam oleh pedagang dari Arabia, India, dan Cina; serta kedatangan kolonial Portugal yang masih memertahankan pakaian dari masa mereka dikuasai Muslim. Dalam kamus Hobson-Jobson yang terbit pada 1969, kata "cabaya" digunakan pelaut Portugal untuk jenis pakaian kancing depan tersebut.
Berbarengan dengan masuknya pengaruh Islam itulah kemudian pakaian yang digunakan perempuan Jawa kemudian bergeser menjadi jauh lebih tertutup dari sebelumnya dan akhirnya menjadi pakaian khas bernama kebaya.
Dalam variasi setempat, pakaian sejenis kemeja belah depan tersebut dikombinasikan dengan penggunaan kain di bagian bawah alih-alih langsung memanjang ke bawah seperti jamak di Timur Tengah.
Dari Jawa, kemudian pakaian kebaya ini menyebar ke seantero Nusantara. Dalam buku "Pakaian Patut Melayu", penulis klasik Haji Mohd Said Haji Sulaiman (1876-1955) mencatat bahwa kebaya di Malaya berasal dari Surabaya mengikuti pakaian perempuan Jawa dan Cina Peranakan.
Pada akhirnya, adalah sebuah ironi jika kebaya digunakan sebagai penolakan atas Islamisasi Nusantara. Karena merujuk catatan sejarah, pakaian itu justru berkaitan sangat erat dengan penyebaran Islam di Indonesia.
(Fitriyan Zamzami)
*Sumber: ROL
**Foto kelurga RA Kartini. (wikimedia commons/tropen museum)