Menurutnya, tak-tik itu dilakukan Jokowi sebagai trik Jokowi untuk bisa membalas dendam. “Bener lima bulan sebelum waktunya, dicopot lah dia Gatot. Itu style daripada Jokowi,” kata dia.
Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network-FNN
JIKA mau jujur, “Gerakan Nusantara Bersatu” di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) pada Sabtu (26/11/2022) lalu itu adalah bentuk ketakutan Joko Widodo ketika pada akhirnya ia harus meninggalkan Istana setelah, sesuai konstitusi, masa jabatan sebagai Presiden RI berakhir pada 2024.
Karena merasa ketakutan itulah pada akhirnya, perpanjangan masa jabatan dan presiden tiga periode dimunculkan kembali. Lewat pernyataan Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, soal perpanjangan masa jabatan Presiden muncul lagi dengan menunggangi Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 asli.
Reaksi keras datang dari Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid yang menolak wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi melalui Dekrit tersebut.
Menurut Hidayat, wacana itu selain tidak sesuai dengan ketentuan Konstitusi yang berlaku, juga bisa mengarahkan Indonesia menjadi negara kekuasaan, bukan lagi negara hukum.
“Melalui amandemen UUD 1945 sudah diputuskan, Indonesia ditetapkan sebagai negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machstaat). Itulah ketentuan baru yang ada dalam Bab I Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945,” ujarnya pada Kamis (23/11/2022).
Ia menekankan, apabila ada yang mewacanakan mengubah UUD NRI 1945 termasuk perpanjangan masa jabatan Presiden atau pengunduran Pilpres 2024 nanti dengan mekanisme, maka tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa ditindaklanjuti.
Pria yang akrab dengan sapaan HNW ini menyayangkan wacana perpanjangan masa jabatan Presiden dengan mendorong Presiden Jokowi membuat Dekrit. Karena dekrit itu secara legal adalah jenis keputusan Presiden, dan itu bukan ketentuan UUD.
“Bila mengacu kepada konsep negara hukum yang berlaku sekarang ini di Indonesia, keputusan Presiden tidak bisa mengubah ketentuan-ketentuan atau ayat-ayat yang ada dalam UUD NRI 1945. Pasal 3 ayat (1) UUD NRI 1945 menyebut bahwa perubahan UUD NRI 1945 kewenangan MPR, bukan Presiden,” tegasnya.
HNW mengingatkan agar wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi melalui Dekrit ini tidak bisa disamakan dengan Dekrit mengembalikan UUD NRI 1945 oleh Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959.
Sehab, kondisi politik dan aturan hukum yang berlaku sangatlah berbeda.
“Dahulu, ada kondisi deadlock politik konstitusional, sekarang tidak ada. Dulu tidak ada aturan Konstitusi yang menyebut dengan tegas, negara Indonesia adalah negara hukum, sekarang ketentuan sebagai negara hukum itu dinyatakan dengan tegas di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945,” tukasnya.
HNW juga menuturkan bahwa wacana perpanjangan masa jabatan apalagi dengan dekrit tersebut juga tidak sesuai dengan sikap Presiden Jokowi yang sudah menegaskan di depan para Relawannya agar tidak ada lagi yang membahas perpanjangan masa jabatan Presiden.
“Bahkan, Presiden Jokowi pernah menyebutkan bahwa yang mengusulkan perpanjangan masa jabatan Presiden (tersebut) ada kemungkinan untuk menjerumuskannya, selain mencari muka atau bahkan menampar wajah Presiden,” pungkasnya.
Jika menyimak pernyataan HNW di atas, berarti LaNyalla sudah “kurang ajar” ketika memberikan sambutan di depan HIPMI yang saat itu juga dihadiri oleh Presiden Jokowi. Tapi, tampaknya, Jokowi enjoy-enjoy saja dengan pernyataan Ketua DPD asal Jawa Timur itu.
Pernyataan LaNyalla tersebut langsung mendapat reaksi dan kritikan netizen. Sampai mantan Ketua Umum PSSI dan Ketua Umum KADIN Jawa Timur itu, harus mengklarifikasi dengan menyebut, “tidak ada barter politik” segala. Apa benar, hanya LaNyalla dan Allah SWT yang tahu.
“Kita semua orang Jatim sudah khatam dengan siapa Nyalla. Jadi, gak kaget,” ucap seorang warga Jatim. Bagaimanapun juga, dari catatan digital diketahui, LaNyalla saat Pilpres 2019 lalu memang berada di kubu Jokowi. Jadi, tidaklah salah jika kemudian ia kembali mendukung penundaan Pilpres 2024.
Fakta bahwa Jokowi takut kehilangan tampuk kekuasaannya bisa juga dilihat dari pernyataannya saat memberikan sambutan di acara Gerakan Nusantara Bersatu di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Sabtu (26/11/2022).
Presiden Jokowi mengatakan, pada Pilpres 2024 nanti masyarakat sebaiknya tidak salah memilih pemimpin. Jokowi mengingatkan masyarakat agar jangan memilih pemimpin yang senang duduk di Istana.
Menurutnya, pemimpin Indonesia ke depan adalah yang memahami perasaan masyarakat.
“Konsekuensi ke depan pemimpin seperi apa yang kita cari? Hati-hati, saya titip hati-hati. Pilih pemimpin yang mengerti apa yang dirasakan rakyat, pilih nanti di 2024 pilih yang ngerti apa yang dirasakan oleh rakyat, setuju?” ujar Jokowi.
“Pilih pemimpin yang tahu apa yang diinginkam rakyat, yang dibutuhkan rakyat, setuju? Jangan sampai, jangan sampai kita pilih pemimpin yang hanya senang duduk di Istana yang AC-nya dingin, saya ulang, jangan sampai kita pilih pemimpin yang duduk di Istana AC dingin,” ujar dia.
Ia menegaskan, Indonesia merupakan negara besar, sehingga pemimpinnya tidak boleh hanya sekedar duduk manis. Jokowi pun mengingatkan, apa yang sudah dibangun pada pemerintahan saat ini harus dijamin keberlanjutannya.
Keberlanjutan itu, menurutnya, jangan terhenti sampai 2024. “Yang sudah kita bangun harus kita jamin keberlanjutannya, inilah yang harus kita jaga sama-sama. Bukan hanya 2024, tapi juga 2029, tapi untuk Indonesia emas 2045 dan seterusnya,” tutur Jokowi.
“Oleh karena itu, jangan karena kepentingan jangka pendek, politik, kemudian lupa tidak ada keberlanjutan yang telah kita mulai. Jangan lupa untuk (tetap) menjaga agar yang sudah di jalur tepat ini harus dilanjut,” kata dia.
Ke mana arah ucapan Jokowi itu, kita sudah tahu. Jika benar Jokowi lengser, penggantinya nanti harus melanjutkan semua program yang sudah dimulai oleh Jokowi, seperti proyek mercusuar Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur.
Jokowi ketakutan jika yang terpilih pada Pilpres 2024 nanti Anies Baswedan, proyek-proyek mercusuar yang jelas-jelas sudah menyedot keuangan negara, dibatalkan oleh Anies. Makanya, apapu yang “berbau” Anies bakal dijegal oleh Presiden Jokowi.
Seperti Jokowi yang membatalkan kehadirannya dalam pembukaan Munas KAHMI XI di Palu H-2 hanya gara-gara Panitia bersikeras mengundang Anies Baswedan. Alasannya, Anies bukanlah pengurus KAHMI. Di sini jelas sekali bahwa Jokowi punya watak pendendam akut.
Itu semua gara-gara Anies Baswedan telah dideklarasikan sebagai Bakal Calon Presiden oleh Partai NasDem pimpinan Surya Paloh ini. Tak hanya itu. Korban dendam tampaknya juga menimpa Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.
Ini juga lantaran Surya Paloh sempat keceplosan jika Andika bakal dijadikan sebagai Bakal Calon Wakil Presiden untuk Anies Baswedan. Makanya, rencana untuk memperpanjang masa jabatan Panglima TNI, akhirnya ditolak Presiden Jokowi.
Padahal, sebelumnya, jabatan Panglima TNI untuk Andika rencananya akan diperpanjang hingga 2 tahun mendatang. Ini diperkuat dengan Presiden sudah mengirim Surat Presiden (Supres) penggantian Panglima TNI kepada DPR oleh Mensesneg Pratikno. KSAL Laksamana Yudo Margono calon pengganti Andika.
Soal watak pendendam Jokowi sebelumnya diungkap oleh politisi senior PDIP Panda Nababan. Korbannya antara lain mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
Panda Nababan akhirnya mengungkapkan awal mula kisah hubungan tak harmonis antara Presiden Jokowi dengan Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.
Cerita ini bermula saat HUT TNI yang digelar di Cilegon pada 2017 silam. Saat itu Jokowi kedapatan terjebak macet panjang menuju lokasi hingga akhirnya dia jalan kaki dan naik ojek demi sampai di lokasi tepat waktu.
“Pak Jokowi kemudian jalan kaki, naik ojek, jalan kaki, naik ojek. Gatot yang menyambut bersama Tito Karnavia saat itu, menyambut kedatangan Presiden, mohon maaf Bapak Presiden, rakyat begitu mencintai TNI, membludak semua tidak bisa terbendung. Iya-iya katanya (Jokowi),” ujar Panda yang dikutip VIVA dari YouTube Indonesia Lawyers Club.
Namun jelas Panda, Jokowi diam-diam menugaskan Pratikno yang saat ini menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara dan Pramono Anung mengecek ke Polda Banten dan Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri.
Polda Banten yang kala itu dipimpin oleh Listyo Sigit Prabowo mengaku tidak dilibatkan dalam mengatur lalu-lintas. “Ditelpon Korlantas sama Pramono Anung, kami tidak dilibatkan, oh begitu cara kau mengapakan saya,” jelasnya.
Panda mengungkapkan, dari kejadian tersebut dendam itu lalu dibahasakan Jokowi pada acara anak Jokowi Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution. Saat itu Gatot diperlakukan dengan tidak spesial.
“Dua bulan kemudian di pestanya anaknya Jokowi si Bobby itu Rizal Ramli di samping saya, Ban, sudah tahu Soeharto raja Jawa yang sadis, ini lebih sadis lagi katanya,” ujar Panda.
“Kau ngomong apa Rizal, kau lihat dulu Gatot Panglima. Panglima Gatot itu duduk biasa-biasa (saja) di dekat anggota-anggota DPR, staf-staf kedutaan,” lanjutnya. Sementara, kolega lainnya seperti Tito, Luhut Binsar Panjaitan, hingga Pratikno menggunakan mawar merah yang menunjukkan mereka adalah panitia.
“Mau menyalam karpet merah itu tidak bisa dilewati Gatot, dia berbaur nyalam. Waktu pulang mobilnya tidak bisa masuk, istrinya duduk di kursi plastik. Itu istri Panglima loh, nunggu mobil kami sama-sama naik bus,” ucapnya.
Menurutnya, tak-tik itu dilakukan Jokowi sebagai trik Jokowi untuk bisa membalas dendam. “Bener lima bulan sebelum waktunya, dicopot lah dia Gatot. Itu style daripada Jokowi,” kata dia.
Dan, tampaknya, dendam seperti itu kini dialami Jenderal Andika Perkasa dengan menolak perpanjangan masa jabatannya hingga berusia 60 tahun. (*)