GEMPA CIANJUR
Oleh: Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Pusat Riset Geospasial – Badan Riset & Inovasi Nasional (BRIN)
Senin siang 21 November 2022, Cianjur digoyang gempa 5,6 SR di kedalaman 10 km. Meski ini belum termasuk gempa besar yang berpotensi tsunami, namun cukup parah dampaknya di beberapa desa di sekitar epicentrum. Banyak rumah yang roboh dan menimpa manusia di dalamnya. Sementara ini jumlah korban dan kerusakan masih terus dihitung. (update terbaru: 162 meninggal, mayoritas karena tertimpa bangunan)
Cianjur memang sudah lama dikenal sebagai daerah rawan gempa. Cianjur dilalui sesar Cimandiri, yaitu patahan geser aktif sepanjang 100 kilometer. Sesar ini memanjang dari muara Sungai Cimandiri di Pelabuhanratu, Kab. Sukabumi, hingga ke timur laut melewati Kab. Cianjur, Kab. Bandung Barat, hingga Kab. Subang.
Dalam sekitar seabad terakhir, ada tujuh gempa besar di sepanjang Sesar Cimandiri, yaitu gempa Pelabuhan Ratu (1900), gempa Padalarang (1910), gempa Conggeang (1948), gempa Tanjungsari (1972), gempa Cibadak (1973), gempa Gandasoli (1982), dan gempa Sukabumi (2001).
Daerah rawan gempa dapat dipetakan, namun gempa itu sendiri tidak dapat diprediksi kapan datangnya, apalagi dicegah atau dihalangi. Manusia di daerah rawan gempa harus hidup dengan gempa. Namun mereka dapat mengurangi risiko dengan membangun infrastruktur dan bangunan yang tahan gempa.
Ini karena gempa sebenarnya tidak membunuh, selama tak ada jembatan patah, tebing longsor atau bangunan ambruk yang melibatkan manusia di sekitarnya. Oleh karena itu, aturan bangunan di daerah rawan gempa wajib diperketat. Dinas PU bersama BPBD perlu lebih proaktif memeriksa kekuatan bangunan di daerah rawan gempa.
Sayangnya, kondisi ekonomi sering memaksa warga miskin membangun rumah ala kadarnya. Mereka juga yang kini banyak menjadi korban. Mungkinkah ada subsidi perbaikan rumah agar tahan gempa?
Salah satu tugas pemerintah adalah memastikan seluruh infrastruktur dan bangunan publik (kantor pemerintahan, rumah sakit, sekolah) memenuhi spesifikasi tahan gempa. Setidaknya tidak justru menjadi penghambat ambulance datang untuk menolong karena adanya longsor atau jembatan patah. Dan setidaknya bangunan publik ini pada saat bencana dapat menjadi tempat pengungsian sementara.
Yang harus disiapkan juga adalah infrastruktur sosial dan mental spiritual.
Kita ini sering menyadari hidup di daerah rawan bencana, namun amat jarang ada latihan tanggap darurat bencana. Walhasil pada saat terjadi bencana seperti ini, respon pertama warga sering tidak tepat.
Dulu, pasca bencana gempa dan tsunami Aceh 2004, banyak daerah melakukan tsunami drill. Namun kegiatan ini terkesan asal jalan. Ketika proyek selesai, masyarakat dan pemerintah setempat tak merasa perlu melakukannya lagi. Seolah-olah seluruh latihan itu adalah kebutuhan negara donor, bukan masyarakat di sini.
Selain memperkuat kesigapan masyarakat, membangun sikap mental saling menjaga juga penting. Di Jepang, sewaktu gempa 9 SR dan tsunami melanda Sendai tahun 2011 dulu, infrastruktur dan dunia usaha praktis lumpuh. Banyak warga mengambil sendiri sembako di Supermarket. Dan ketika kondisi pulih, warga tersebut kembali ke supermarket, melaporkan barang yang diambilnya saat kondisi darurat, dan mereka antri untuk membayarnya!
Masih sulit membayangkan seperti ini di Indonesia. Namun meski sulit, kita mesti membangun sumberdaya manusia kita ke sana. Lebih dari itu, kita kembangkan sikap mental spiritual positif. Gempa ini bukan azab. Dia ujian dari Allah untuk menilai siapa yang lebih baik amalnya. Yang kena musibah diuji kesabarannya. Yang tidak kena musibah diuji solidaritasnya. Dan semuanya diuji agar ke depan makin bertakwa.
Yang azab itu hanyalah jika ahli maksiat tewas saat bencana tanpa sempat bertobat. Adapun ahli taat, mereka mati syahid!
22 Nov 2022
(Sumber: Koran KR)