Saat itu tanggal 29 September 1945. Tentara Sekutu dan NICA mendarat di Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Sumatra. Mendarat di berbagai kota pemegang kunci Pulau Jawa.
Tentara Sekutu baru saja memenangkan Perang Dunia II dan juga Perang Pasifik. Bisa dikatakan mereka tentara penguasa dunia saat itu. Tentara dengan persenjataan terbaik di masanya. Tentara yang mampu membuat bertekuk lutut Jerman, Italia, Jepang. Tentara yang mampu mengirim bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki.
Bisa dibayangkan betapa super powernya tentara sekutu. Betapa mereka ditakuti di seluruh dunia. Betapa mereka adalah tentara terbaik dan tertangguh di masanya.
Bisa dikatakan Tentara Republik Indonesia yang bersenjatakan ala kadarnya bukan tandingan sepadan buat mereka. Wajar sekali jika pemerintah Republik Indonesia tak melakukan perlawanan nyata terhadap tentara sekutu ataupun NICA.
Tapi, apakah rakyat Indonesia diam saja melihat fenomena ini? Jawabnya TIDAK! Meskipun sadar diri bahwa kekuatan tak sepadan, tapi tak ada kata menyerah.
Para ulama dan santri bertekad akan mempertahankan kemerdekaan negeri ini hingga titik darah penghabisan. Tekad ini dibuktikan dengan tindakan nyata.
Saat itu tanggal 21-22 Oktober 1945, Perhimpunan Nahdhatul Ulama seluruh Jawa dan Madura mengajukan Resolusi Djihad pada pemerintah Indonesia.
Kemudian pada tanggal 7 November 1945 di Yogyakarta juga dikumandangkan Resolusi Djihad oleh Partai Masyumi. Partai Islam Masyumi membentuk Barisan Sabilillah.
Resolusi Djihad Masyumi ini sangat terkenal dengan sebutan 60 Miljoen (Juta) Kaoem Moeslimin Indonesia Siap Berdjihad Fi Sabilillah. [jadi headline di koran KR Jogja pada 8 November 1945]
Barisan Sabilillah ini dibawah pengawasan Masyumi. Sebelumnya juga sudah terbentuk Tentara Hizbullah. Mereka milisi yang sangat militan. Siap gugur sebagai syuhada demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Resolusi Djihad yang dikobarkan oleh NU dan Masyumi mampu menyatukan milisi yang sudah terbentuk. Milisi Hizbullah, Barisan Sabilillah, serta batalyon tentara PETA bersatu padu menyamakan langkah untuk melawan tentara super power Sekutu dan NICA.
Saat itu mayoritas tentara Jepang memihak Republik Indonesia. Senjata Jepang yang akan dilucuti oleh sekutu diam-diam diberikan untuk Tentara Republik Indonesia. Bahkan Kapten Yanagama selama dua bulan melatih 50.000 anggota Tentara Hizbullah, tentara PETA, serta Barisan Sabilillah.
Laksamana Shibata Yaichiro, Panglima Senior Jepang, memihak Republik Indonesia. Dia membuka pintu gudang persenjataan Jepang kepada para pemuda Indonesia. Dia memerintahkan seluruh pasukannya untuk menyerahkan senjatanya kepada rakyat Indonesia.
Bung Tomo dari Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia memberikan komando, jangan sampai menyerahkan senjata sepucuk pun kepada tentara sekutu. Kecuali sekutu mengakui kemerdekaan Indonesia 100%.
Meskipun sadar bahwa musuh yang dihadapi adalah tentara penguasa dunia, tetapi rakyat Indonesia bertekad melawan. Bisa dibayangkan betapa heroiknya rakyat Indonesia. Tak mau takluk dengan tentara pemenang Perang Dunia II.
Tekad yang meluap semakin bangkit dan berubah menjadi kekuatan yang tak kenal rasa takut, karena diiringi spirit ruhani yang kuat. Keyakinan bahwa surga firdaus menanti para syuhada. Para ulama membangun Laskar Sabilillah untuk mendampingi Laskar Hizbullah. Mereka terjun memimpin pertempuran.
Bung Tomo membangkitkan semangat juang dengan pekikan Takbir dalam setiap pidatonya. Dia memahami siapa yang tepat menjadi teman dalam membela tanah air dan bangsa serta agama dari ancaman tentara sekutu dan NICA. Teman yang tepat tersebut adalah ulama, santri, dan umat Islam. Mereka pasti akan datang memenuhi panggilan tersebut setulus hati. Tak ada pamrih lain kecuali mengharapkan surga abadi.
[Widi Astuti]