TERORIS HARUS ISLAM!
Oleh: Dr. Moeflich H. Hart
Moeldoko: "Potensi Radikalisme Meningkat di tahun politik 2023-2024." (Tempo.co, 20 Oktober 2022).
Sebutan teroris harus hanya terkait dengan Islam yaitu gerakan Islam, Islam radikal atau Islam minoritas yang tertindas dan ingin merdeka di sebuah negara. Itu benar!! Tapi gerakan serupa non-Islam tidak boleh disebut kelompok teroris.
Osama bin Laden dan Al-Qaeda yang konon meruntuhkan dua gedung World Trade Center di New York 11 September 2001 dengan tabrakan pesawatnya yang menelan korban tewas 2.977 warga Amerika dan bangsa lain jelas teroris Islam, tapi Presiden George W. Bush yang membalasnya dengan menjatuhkan pemerintahan Irak dan membunuh puluhan ribu lebih korban warga sipil Irak ya jelas bukan teroris. Itu pembalasan yang sah.
Kita tahu, jaringan Al-Qaidah (bila benar-benar ada) tidak terkait negara. Belakangan lembaga inteligent CIA mengakui Al-Qaeda hanya ciptaan Amerika tapi Amerika menjatuhkan pemerintahan Irak dan menghancurkan Baghdad. Keganasan tentara Amerika dan sekutunya di berbagai negara yang telah menewaskan 150 ribu lebih korban warga sipil tak berdosa tidak bisa disebut teroris karena itu negara, terlebih negara adidaya.
Pemerintah Zionis Israel yang setiap hari membunuh rakyat sipil tak berdosa, wanita dan anak-anak Palestina, bukanlah teroris. Amerika dan dunia tidak menyebut itu teroris karena Israel bukan Islam. Presiden Serbia, Slobodan Milosevic, yang melakukan kejahatan perang pada etnis Muslim Bosnia dan melakukan ethnic cleaning (pembersihan etnis) dengan metode mass rape (perkosaan massal) tak disandingkan dengan istilah teroris.
Menurut Jürgen Todenhöfer, seperti ditulis Sulthan Haidar Shamian, dalam bukunya Feinbild Islam: Zehn Thesen gegen Hass (Potret Buruk Islam: Sepuluh Tesis Anti Kebencian), terbit tahun 2011, Barat jauh lebih brutal daripada dunia Muslim. Jutaan warga sipil Arab tewas sejak kolonialisme dimulai. Todenhöfer adalah seorang politikus dari partai CDU (Kristen-Demokrat) yang pernah 18 tahun duduk di parlemen Jerman. Ia telah melakukan perjalanan bertahun-tahun di Irak, Iran, Libya, Sudan sampai Afghanistan. Menurut Todenhöfer, atas nama kolonialisasi, Prancis pernah membunuh lebih dari dua juta penduduk sipil di Aljazair, dalam kurun waktu 130 tahun. Atas nama kolonialisasi, Italia pernah menggunakan phosphor dan gas mustard untuk menghabisi penduduk sipil di Libya. Atas nama kolonialisasi, Spanyol juga pernah menggunakan senjata kimia di Marokko.
Tidak berbeda di era dengan pasca perang dunia kedua. Dalam invansi perang Teluk kedua, semenjak tahun 2003, UNICEF menyebutkan, 1,5 juta penduduk sipil Irak terbunuh, sepertiganya anak-anak. Tidak sedikit dari korban terkontaminasi amunisi uranium. Di Baghdad, hampir setiap rumah kehilangan satu anggota keluarganya.
Sebaliknya, di dua abad terakhir, tidak satu pun negara Muslim menyerang, mengintervensi, mengkolonialisasi Barat. Perbandingan jumlah korban mati (dunia Islam: dunia Barat) adalah 10:1. Problema besar dunia di dua abad belakangan ini, kata Todenhöfer, bukan kebrutalan Islam, tapi kebrutalan beberapa negara-negara Barat. Tapi walaupun begitu, harus dicatat, tetap yang teroris itu adalah Islam. Walaupun catatan pembunuhan rakyat sipilnya sangat banyak, Barat bukan teroris dan tak bisa disebut teroris.
Haidar Shamian pun menyebutkan data data resmi Badan Kepolisian Eropa, Europol, yang ditemukan Jürgen Todenhöfer. Europol menyebutkan dari 249 aksi teror di tahun 2010, hanya tiga yang pelakunya berlatar belakang Islam. Bukan 200, bukan 100 – tapi tiga! Data di tahun-tahun sebelumnya juga tidak kalah mengejutkan: Dari 294 aksi terror di tahun 2009, hanya satu yang berlatar belakang Islam. Hanya satu dari 515 aksi teror di tahun 2008. Hanya empat dari 583 di tahun 2007.
Bila Barat, kata Todenhöfer, mengklaim 3500 korban terorisme jatuh atas nama “teror-Islam” semenjak pertengahan 1990-an (termasuk korban WTC pada 11/9), tapi mengapa ratusan-ribu warga sipil yang terbunuh dalam intervensi di Irak tidak pernah diangkat? Todenhöfer kemudian bertanya: Mengapa elite Barat tidak pernah sekalipun menimbang untuk membawa George W. Bush dan Tony Blair ke hadapan mahkamah internasional, atas serangan sepihaknya ke Irak? Sekali lagi, jawabannya jelas, karena teroris itu Muslim dan harus hanya terkait dengan Islam.
Alumni-alumni pesantren dan anak-anak muda Islam yang melakukan perlawanan pada ketidakadilan politik global dengan menyerang simbol-simbol dominasi kekuasan Barat-Amerika harus disebut teroris. Abu Bakar Ba’asyir walaupun di pengadilan dinyatakan tidak terbukti bersalah dalam peristiwa-peristiwa terorisme, adalah seorang teroris. Densus 88 harus dibentuk karena mendapat bantuan dana besar untuk menyergap para teroris Islam. Bila berhasil, Indonesia dapat pujian internasional. Aksi-aksi teroris yang selalu saja muncul, yang menunjukkan kegagalan Densus 88 mengantisipasinya, tidak apa-apa untuk terus memelihara keterkaitan Islam dengan terorisme.
Gerakan-gerakan Muslim minoritas yang melakukan perlawanan pada pemerintahnya yang menindas dan ingin memisahkan diri harus disebut teroris. Abu Sayaf pimpinan Muslim Moro di Filipina adalah teroris karenanya terorisme di Indonesia pun sering dikaitkan kepadanya. Demikian pula Muslim Patani di Thailand Selatan yang ingin merdeka dan lepas dari Thailand. Tapi, kelompok separatis Papua yang ingin lepas dari Indonesia dan sudah membunuh ribuan sipil dan puluhan polisi cukup sebut OPM (Organisasi Papua Merdeka) saja dan sekarang menurut pengakuan Menteri Luar Negeri Republik Federal Papua Barat Jacob Rumbiak, sudah 111 negara memberikan dukungannya untuk lepas dari Indonesia. Gerakan separatis di Maluku cukup sebut RMS (Republik Maluku Selatan) saja. Timor Timur yang berontak dan memisahkan diri dari pangkuan NKRI sebut “perlawanan Timor Timur” saja atau Fretilin saja.
Non-Islam tidak boleh dihubungkan dengan kata-kata teroris walaupun tindakannya sama, bahkan lebih. Sebutan teroris buat mereka tidak pas. Maka, pembantaian massal Muslim Rohingnya di Burma, tidak disebut kelompok teroris tapi cukup “penganut Budha” saja atau “pemerintah Burma” saja. Tapi kalau dua orang remaja yang baru berumur 19 dan 16 tahun menyerang pos polisi di Solo, langsung disebut teroris apalagi dia alumni pesantren.
Umat Islam di seluruh dunia yang memprotes keras film menghina Nabi, Innocence of Muslims, harus dianggap para teroris karena telah membuat suasana mencekam, merusak dan membunuh orang tak terkait, tapi Sam Bacile, pembuat film itu sendiri yang menyebabkan protes dan telah menteror serta melukai perasaan umat Islam seluruh dunia ya bukan teroris. Bacile hanya melukai perasaan, sedangkan demo umat Islam telah menimbulkan korban luka fisik. Semua orang tahu, luka perasaan lebih dalam dan lebih berbekas ketimbang hanya luka fisik.
Pembentukan citra terorisme itu Islam telah berhasil membentuk stigma dan opini reflek bawah sadar, termasuk di kalangan umat Islam sendiri, bahwa setiap bentuk perlawanan nyata yang dilakukan oleh orang-orang Islam, tanpa melihat konteks persoalan sosial politik, psikologis dan budaya harus disebut teroris dan harus terus diawasi dan diwaspadai.
Itulah makanya, Moeldoko kemarin menyebutkan lagi, menjelang tahun politik 2024, terorisme menguat lagi. Bukti awalnya adalah seorang perempuan yang menodongkan senjata FN ke petugas Pampres.
*fb penulis