Aksi-aksi atau demontrasi yang sering kita lihat dalam tayangan berita televisi, biasanya saat membubarkan aksi, aparat menggunakan senjata pamungkas dengan menembakkan gas air mata. Sehingga para peserta aksi untuk menghindar dari semburan gas air mata mereka bisa berlari ke berbagai arah di alam terbuka.
Peserta aksi yang lokasinya di alam terbuka dan telah berbekal Alat Pelindung Diri (APD), tentu tidaklah sama dengan para suporter atau penonton sepak bola yang masuk ke stadion lewat pintu-pintu yang tersedia dan duduk di tribun dengan cara mengantri. Demikian pula, saat keluar pun mesti antri dengan tertib. Saat berangkat pun para penonton telah merasa aman sehingga tidak menyiapkan APD, mereka beranggapan kecil kemungkinan terjadi kerusuhan antarsuporter karena mereka mengetahui bahwa suporter Persebaya tidak akan hadir.
Tragedi Kemanusiaan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang Jawa Timur pada Sabtu (1/10/2022) pascapeluit panjang wasit yang menandakan berakhirnya pertandingan antara Arema (2) vs Persebaya (3), tak luput menyisakan sejumlah pertanyaan. Pertama, adakah kerusuhan antarsuporter padahal suporter Bonex pendukung Persebaya tidak hadir di lapangan? Lantas kerusuhan yang terjadi, siapa yang dihadapi suporter Arema?
Benarkah sebagian kecil suporter Arema yang turun ke lapangan usai pertandingan akan membuat kerusuhan hingga merusak fasilitas dan melawan petugas? Bisa jadi saat mereka turun ke lapangan hanya sekadar ingin memberi dukungan moril kepada para pemain Arema atau foto bersama dengan pemain idolanya?
Kalau toh patut diduga oleh petugas keamanan bahwa sebagian kecil para suporter Arema yang turun ke lapangan akan membuat kerusuhan, patutkah aparat keamanan dengan secepatnya mengambil keputusan menembakkan gas air mata ke arah suporter yang turun ke lapangan?
Pertanyaan selanjutnya, apakah benar sudah sesuai prosedur penembakan gas air mata kepada sebagian kecil para suporter yang turun ke lapangan dan sekaligus kepada para suporter yang ada di tribun?
Nasi sudah menjadi bubur, Tragedi Kemanusiaan Kanjuruhan telah terjadi. Bisa dikatakan, semburan gas air mata berubah menjadi derai tangis air mata. Kini yang ada tangis air mata para korban dari anak yang kehilangan orang tuanya dan sebaliknya orang tua yang kehilangan anaknya, suami yang ditinggal istrinya dan sebaliknya istri yang ditinggal mati suaminya. Tetesan-tetesan air mata mereka tak cukup hanya dihapus dengan melimpahnya santunan yang diterimanya. []
Tardjono Abu Muas, Pemerhati Masalah Sosial