Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Negara
Saudi Arabia itu entitas politik, ia tidak sama dengan Arab sebagai bangsa, atau Makkah dan Madinah sebagai dua tanah haram, atau hal-hal sakral lainnya dalam agama.
Saudi itu tidak sakral. Ia sangat mungkin salah, sangat mungkin jatuh. Karena itu saat banyak pihak yang menyayangkan terjadinya kenakalan yang kebablasan di sana beberapa tahun terakhir, jangan buru-buru melakukan pembelaan membuta, dan menuduh pihak yang menyayangkan sebagai pembenci Arab, pembenci Islam atau pembenci Sunnah.
Pasca runtuhnya Utsmani --yang dengan segala kelemahan dan kekurangannya, harus diakui tetap mampu membawa kebanggaan bagi umat Islam di masa lalu--, Saudi Arabia harus diakui adalah negara yang paling baik penerapan Islamnya selama puluhan tahun. Bahkan saya beberapa kali dengan tegas menolak pendapat rekan-rekan HTI yang menyatakan tidak ada lagi negara Islam pasca runtuhnya 'Utsmani. Saya katakan, Saudi Arabia adalah negara Islam, yang undang-undangnya jelas merujuk pada Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Kalau soal Saudi itu bentuknya mamlakah (yang diterjemahkan dengan: kerajaan), sehingga bukan negara Islam, karena negara Islam harus berbentuk khilafah menurut HTI, ini juga bisa dikritik. Karena penamaan bentuk negara itu hal yang sifatnya teknis ijtihadi, yang penting isi di dalamnya. Dan secara fakta, sejak Umayyah sampai 'Utsmaniyyah itu pakai sistem dinasti, pewarisan kekuasaan, sebagaimana Saudi Arabia saat ini, tidak ada bedanya. Jika Saudi ditolak sebagai negara Islam karena faktor ini, maka konsekuensinya sejak Umayyah sampai 'Utsmaniyyah juga tidak bisa disebut sebagai negara Islam.
Kalau soal kepemimpinan atas seluruh umat Islam, maka dalam lintasan sejarah, sejak awal era 'Abbasiyyah, secara de facto tidak ada lagi entitas politik yang menjadi satu-satunya pemimpin bagi umat Islam. Masa itu, wilayah Andalusia tidak dibawah kekuasaan politik 'Abbasiyyah. Semenjak melemahnya 'Abbasiyyah, berdiri berbagai entitas politik yang bersifat mandiri terpisah dari 'Abbasiyyah di berbagai negeri Islam, dan hal itu berlanjut sampai runtuhnya 'Utsmaniyyah. Artinya, ini juga tidak bisa dijadikan argumen untuk menolak keberadaan Saudi sebagai negara Islam.
Adapun soal kekuatan secara ekonomi dan politik, kemampuan dalam jihad, dan lain-lain, ini memang masalah umat Islam sejak beberapa abad terakhir. Umat Islam sudah mundur sejak masa akhir 'Utsmani, dan sampai sekarang belum bisa kembali pada kejayaannya di masa lalu. Tentang hal ini, tentu tidak layak kritik diberikan hanya untuk Saudi saja.
Namun, beberapa tahun terakhir, dari berbagai berita --yang terlalu banyak untuk didustakan semuanya-- dan kesaksian sekian orang yang tinggal di sana, Saudi memang sudah semakin nakal. Semakin banyak hal-hal yang melanggar syariat yang dikampanyekan dan diselenggarakan di sana. Ini sangat disayangkan.
Kita di sini tentu berharap para ulama di sana menegur keras penguasa yang mengizinkan bahkan menginisiasi berbagai kemungkaran tersebut. Terserah lah, mau empat mata atau terbuka, yang penting ada yang melakukannya. Apakah sudah dilakukan? Saya tidak tahu. Mungkin sudah.
Demikian juga terhadap para dai Indonesia alumni Saudi, atau yang masih kuliah di sana, atau yang merasa punya hubungan emosional dengannya, kita berharap hal yang terlalu jelas ini juga diingkari. Jangan malah sibuk membela Saudi, seakan entitas politik ini tidak mungkin salah, sembari menyerang pihak-pihak yang melakukan kritik. Tidak usah pakai narasi basi "khawarij" dan "IM" lagi. Memangnya di mana anda meletakkan akal anda, jika hal semacam ini masih anda anggap sebagai kesalahan "khawarij", "haraki" dan "IM"?
Saudi ini masih negara Islam. Sangat menyedihkan jika ia nantinya menjadi negara liberal sepenuhnya, seperti beberapa negara Arab lainnya, karena kemungkaran yang nyata dibiarkan berjalan begitu saja.
(fb)