Cekak Modal Sebelum Kelar
Target pengoperasian kereta cepat Jakarta-Bandung terancam molor untuk kesekian kalinya. Beda hitungan angka pembengkakan biaya antara Indonesia dan Cina menjadi pemicu tersendatnya suntikan dana lewat penyertaan modal negara. Beban PT Kereta Api Indonesia, pemimpin konsorsium BUMN dalam proyek ini, bertambah berat karena harus ikut menanggung utang dari Cina.
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung menghadapi tantangan anyar: perbedaan perhitungan pembengkakan biaya (cost overrun) antara pihak Indonesia dan Cina. Persoalan ini berpotensi menghambat cairnya pembiayaan yang berujung pada kian molornya penyelesaian proyek.
Sumber TEMPO yang mengetahui persoalan ini mengatakan, selisih perhitungan pembengkakan biaya antara pihak Cina dan Indonesia—yang telah ditinjau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)—cukup besar. Dokumen yang diperoleh TEMPO mengkonfirmasi hal tersebut.
Pada asersi pertama BPKP di awal 2022, nilai pembengkakan biaya proyek kereta cepat ditaksir sebesar US$ 1,176 miliar. Jumlah itu bertambah setelah BPKP melakukan asersi kedua pada triwulan III 2022. Dalam hasil asersi yang dilaporkan kepada Komite Kereta Cepat, BPKP memperkirakan jumlah cost overrun kereta cepat sebesar US$ 1,449 miliar (sekitar Rp 22,2 triliun pada kurs Rp 15.331 per dolar Amerika Serikat).
Penambahan nilai pembengkakan pada asersi kedua itu bersumber dari perhitungan tambahan biaya keseluruhan pembangunan konstruksi, perpajakan, serta relokasi fasilitas sosial dan fasilitas umum yang terkena dampak pembangunan jalur kereta cepat. Namun itu pun belum mencakup semua kebutuhan dana proyek, karena masih ada hal lain yang perlu ditinjau.
Dua aspek lain yang belum dihitung oleh BPKP tapi berpotensi turut menambah pembengkakan biaya adalah komponen perubahan harga yang diajukan grup kontraktor High Speed Railway Contractor Consortium (HSRCC). Besarannya belum diketahui pasti karena masih menunggu hasil penilaian Dewan Penyelesaian Sengketa.
Kemudian ada alokasi dana cadangan sebesar 5-8 persen dari nilai kontrak rekayasa, pengadaan, dan konstruksi. Jika dua komponen ini dihitung, diperkirakan estimasi total cost overrun kereta cepat akan mencapai US$ 1,9 miliar (sekitar Rp 29,1 triliun).
Juru bicara BPKP, Eri Satriana, mengatakan, sejauh ini lembaganya belum menerima permintaan asersi ketiga dari pemerintah atas cost overrun kereta cepat. Namun, menurut dia, dalam asersi kedua, BPKP memang telah memperhitungkan sejumlah komponen, seperti perpajakan, yang mempengaruhi hasil review. "Hasil review dan rekomendasi telah kami serahkan kepada yang meminta (Kementerian BUMN)," kata Eri, melalui jawaban tertulis.
Namun, berbeda dengan perhitungan versi Indonesia, pihak Cina membuat perhitungan pembengkakan biaya dengan nilai lebih rendah. Besaran cost overrun versi Cina tercatat sebesar US$ 982 juta. Sumber TEMPO mengatakan, selisih besaran yang cukup jauh itu disebabkan oleh beberapa komponen yang tidak diperhitungkan Cina, misalnya soal biaya persinyalan.
Jika ditambah dengan perhitungan pembengkakan biaya versi BPKP, nilai total proyek kereta cepat yang semula sebesar US$ 6,07 miliar, membengkak jadi US$ 7,5 miliar (sekitar Rp 115 triliun). Sedangkan jika ditambah dengan perhitungan versi Cina, nilai keseluruhan proyek menjadi US$ 7,05 miliar (sekitar Rp 107 triliun).
Adapun jika ditambahkan dengan potensi cost overrun sebesar US$ 1,9 miliar, nilai proyek menggelembung jadi US$ 7,97 miliar, atau sekitar Rp 122 triliun. Jumlah itu hampir menyamai anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2023.
(SELENGKAPNYA DI KORAN TEMPO, Selasa, 11 Oktober 2022)