NEGARA MADINAH
Oleh: Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Madinah adalah kota yang menyimpan sejuta cerita. Pada abad ke 5 dan 6 M kota Madinah hanyalah tempat pelarian Yahudi dari kejaran tentara Hadrianus dari Roma. Juga tempat pemukiman dua suku Arab, Khazraj dan Aws.
Di kota ini kisah nabi-nabi berkembang bagai legenda tapi nyata. Namun kelahiran Nabi Muhammad SAW seabad kemudian menjadi berita gembira. Hijrahnya pun (tahun 622 M) disambut dengan suka cita.
Kota ini benar-benar mencintai dan dicintai Nabi. Saking cintanya Nabi berdoa “Mudah-mudahan Madinah diberi rahmat Allah dua kali lipat lebih banyak dari Makkah”. Allah pun memberi hadiah sebongkah taman surga (Raudah min riyadil jinan) di dalam masjidnya.
Mungkin ini rahasianya mengapa Nabi meramalkan bahwa nanti Dajjal tidak akan masuk kota ini. Begitu istimewanya tempat ini - menurut hadis Nabi yang lain - sehingga kota ini adalah kota terakhir yang akan dihancurkan dari muka bumi di hari kiamat nanti.
Dan yang tidak kalah menariknya kota ini sebelumnya bernama Yathrib. Buktinya dalam surah Madaniyah awal tempat ini masih disebut Yathrib (lihat al-Ahzab: 13). Tapi delapan tahun setelah hijrah (sekitar tahun 630 M) Nabi menggantinya dengan nama Madinah (lihat surah Madaniyah akhir al-Taubah: 120).
Setelah nama Yathrib diganti Madinah Nabi melarang para sahabatnya untuk menggunakan nama Yathrib lagi. Entah mengapa. Tapi yang jelas Nabi memberi nama setelah membangun tempat ini. Apa yang telah dilakukan Nabi? kita lihat.
Sejak lantunan Talaa-l-badru menggema di seantero Yathrib, Nabi sudah mengantongi dukungan warga setempat. Al-Husseim bin Sallam, seorang rabi Yahudi Yathrib langsung memeluk Islam. Jalan dakwah Nabi pun mulus tanpa paksaan. Tidak sampai satu dasawarsa, sebanyak 15 kabilah masuk Islam dengan sukarela.
Langkah Nabi selanjutnya adalah: merajut ukhuwwah Islamiyah dan mempersatukan Muslim dengan Yahudi dengan Piagam Madinah. Sebuah Negara berkonstitusi pun terbentuk dengan kekuasaan dan kedaulatan penuh.
A. Von Kramer tidak salah ketika menyimpulkan “Muhammad membawa agama baru dan sistem politik baru… dan menciptakan suatu perdamaian yang harmonis”. D.B.Macdonald mengakui, di Madinah telah terbentuk Negara Islam pertama. Thomas W. Arnold yang diamini Fazlur Rahman lebih blak-blakan lagi “Di Madinah Nabi menjadi pemimpin agama dan kepala Negara”.
Meski realitanya Nabi memang menjadi kepala Negara dan memimpin perang, tapi anehnya pemikir kontemporer Mesir, Ali abd al-Raziq (1888-1966) menafikan fakta-fakta itu semua, ia mengatakan:
Jika betul Rasulullah SAW telah mendirikan sebuah negara politik atau telah memulakan pendiriannya, mengapa sebahagian besar dari dasar-dasar kenegaraan tidak wujud dalam negara itu? Mengapa cara pemilihan hakim dan walikota pada zaman baginda itu tidak diketahui? Mengapakah pula Nabi tidak pernah menjelaskan tentang sistim kerajaan dan kaedah-kaedah Syura? Mengapa beliau membiarkan para ulama sesudah beliau dalam kebingungan? (Ali Abd al-Raziq, Al-Islam wa Usul al-Hukm, Bahth fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam, Beirut: al-Muassasah al-Arabiyyah Li al-Dirasah wa al-Nashr, 1988, hlm. 160.)
Pandagan sekuler ini didukung oleh tokoh liberal Abdullahi Ahmad an-Naim. Kata Naim tidak ada Negara Islam, sebab Islam itu agama yang dipeluk manusia bukan oleh Negara. Selain itu, katanya, mestinya yang disebut Negara itu mestinya punya batas teritori, passport dsb. Argumentasi Naim nampak aneh memang.
Sebenarnya siapapun tidak bisa mangkir bahwa Madinah merupakan babak baru sejarah Islam. Jadi, Madinah adalah post-faktum dari faktum-faktum. Jika fakta sosial-historis bisa bias tafsir, kita pakai fakta-fakta tekstual. Ternyata perubahan Yahtrib menjadi Madinah didahului oleh perubahan kandungan wahyu.
Wahyu yang ketika di Makkah berkutat masalah tauhid, ibadah, alam semesta, penciptaan, hari akhir dan sebagainya, di Madinah berubah ke masalah ummah, ukhuwwah, jihad, kemanusiaan, keadilan, kemakmuran, kekuatan dan sebagainya. Lebih berdimensi sosial-politik. Pendek kata, di Madinah-lah tempat penerapan dan penyempurnaan konsep din yang turun di Makkah itu.
Lalu mengapa pengganti Yathrib adalah Madinah? Kajian sejarah katanya ternyata sama menariknya dengan sejarah kotanya. Kata “Madinah” adalah bentuk (wazn) kata tempat (ism al-makan) dari kata din. Biasanya kata tempat dibentuk dari kata kerja, maskan (tempat tinggal) misalnya berasal dari kata sakana (tinggal).
Tapi untuk kata Madinah tidak demikian. Dalam Arabic English Lexicon, karya Lane kata Madinah diletakkan dibawah entri din (agama).
Kata kerjanya adalah dana, yadinu yang berarti taat, berserah diri, menghamba, merendahkan diri [kepada Allah] dan menghitung. Ism-nya adalah din. Dintu lahu artinya saya taat kepadanya. Dana bi-l-Islami dinan artinya menghamba pada Allah dengan memeluk agama Islam.
Dalam al-Quran jelas dinyatakan “Siapa yang lebih baik ketaatannya (ahsanu dinan) dari orang yang berserah diri kepada Allah” (Q.S. IV: 124). Kaum pluralis sering memelesetkan ayat ini dan diartikan bahwa agama yang baik adalah yang berserah diri, dengan agama apapun. Tentu plesetan yang gagap filologi.
Dalam hadis Nabi dinyatakan “Orang cerdas adalah yang menghambakan dirinya (pada Allah) dan mengerjakan sesuatu untuk hidup sesudah mati” (al-kaysu man dana nafsahu wa amil ma bada al-maut). Atau dalam hadis lain disebut “Barangsiapa menghitung [muhasabah] dirinya maka beruntunglah dia (man dana nafsahu rabiha).
Disini din berarti taat dan berserah diri atau menghamba kepada Allah. Dan menghambakan diri [yang benar] bagi Allah adalah melalui agama Islam (inna-d-dina indallahi al-Islam).
Dari kata kerja dana, yadin yang menjadi bentuk isim din itu juga bisa dilacak dari kata dayn, artinya hutang. Kajian semantiknya, beragama adalah rasa keberhutangan kepada Tuhan. Kalau dicek pada ayat-ayat al-Quran tentu cocok.
Buktinya, Allah selalu menggunakan bahasa perdagangan dengan hambaNya. Allah telah “membeli” diri dan harta orang-orang mukmin dengan surga. (Taubah: 111). Barangsiapa “memberi pinjaman” kepada Allah suatu kebaikan, akan Allah lipat gandakan pinjaman itu (al-Baqarah: 245; al-Maidah: 12; al-Hadid: 11, 18; al-Taghabun: 17; al-Muzammil: 20), dan banyak lagi.
Jadi beragama adalah proses membayar hutang kepada sang pencipta. Inilah sebabnya mengapa dalam bahasa Arab Allah diberi julukan al-Dayyan (literalnya Yang Memberi Hutang, tapi maknanya Yang Memberi Balasan semua perbuatan). Sedangkan untuk makhluk, julukan itu tanpa alif lam yaitu Dayyan yang berarti penguasa atau gubernur. Disini beragama adalah proses membayar hutang kepada Allah dengan amal kebaikan.
Kecenderungan hidup berdasarkan aturan, sadar hukum, taat pada penguasa hukum dan hakim (berserah diri) serta hidup secara teratur adalah inti dari din. Itulah fitrah manusia dan inti keberagamaan.
Beragama tidak bisa liberal dan liar. Secara filologi saja kata din sudah menggambarkan sebuah struktur kehidupan yang sistemik. Secara realita Madinah telah menjadi tempat untuk berserah diri, untuk mentaati aturan, untuk menghamba serta membayar hutang kepada Allah dengan amal kebajikan.
Tapi menariknya ternyata kata Madinah tidak berasal dari kata madana, sebaliknya madana terbentuk setelah lahir kata Madinah. Sejarahnya begitu. Maka dari itu kata madana dalam Arabic-English Dictionary susunan Hans Wehr diartikan to found or build city; to civilize, to humanize, to refine.
Persis seperti yang dilakukan Nabi. Tapi ketika Hans Wehr mengartikan Madani menjadi secular, kita jadi bingung (confuse). Ini tentu dari pengaruh doktrin gereja. Karena kerja-kerja diluar gereja biasanya disebut dengan kerja-kerja sekuler (secular works), mereka lalu menganggap kerja-kerja diluar masjid sebagai kerja sekuler.
Itu kira-kira pikiran Hans Wehr. Mungkin pengaruh ini pula para cendekiawan Muslim menyamakan civil society yang sekuler itu dengan masyarakat madani. Padahal madani adalah sifat orang berbudaya, beradab dan maju dengan cara taat beragama alias menghamba pada Allah.
Dalam Kamus al-Munjid karangan Abu Luwis, kata tamaddana diartikan berperilaku penduduk kota (ahlul mudun). Kalau mudun (jamak madinah) diartikan kota tentu ini sekuler. Tapi jika diartikan sebagaimana makna filologis diatas, tamaddana berarti berperilaku seperti penduduk madinah yang berserah diri dan menghamba kepada Allah.
Oleh sebab itu tamaddana atau ber-tamaddun adalah hidup dengan din yang benar sesuai dengan hukum dan aturan. Hukum atau aturan din Islam adalah al-Quran. Kitab ini juga menyebut dirinya madubah (makanan), yakni makanan jiwa dan akal. Ketika menjadi kata kerja addaba, yuaddibu, tadiban berarti mengajar disiplin dalam berfikir dan berperilaku. Hasilnya adalah manusia beradab, yaitu yang beriman, berilmu dan berbuat sesuai dengan apa yang ada dalam madubah atau al-Quran. Itulah peradaban, tamaddun, Medeniyet, atau Madaniyat.
(*)