[PORTAL-ISLAM.ID] SAAT tembakan gas air mata pertama masuk ke tribun selatan Stadion Kanjuruhan, Fabianca Cheendy Chairun Nisa masih bertahan. Dia hanya naik ke bagian atas bersama teman-temannya. Dia masih bisa melihat dan bernapas seperti biasa.
Tapi, ketika tembakan gas air mata kedua pada Sabtu (1/10/2022) jelang tengah malam lalu itu jatuh tepat 2–3 meter di depannya, matanya langsung perih. Lantas pada tembakan ketiga, dadanya mulai sesak. ”Saya sudah tidak bisa melihat. Napas juga susah,” ungkapnya.
Nisa hanya menutup mata saat itu menahan perih.
Dia pun langsung ditarik temannya untuk turun melalui gate 12. ”Saya digandeng. Tapi, tetep nutup mata kayak orang buta. Cuman ikuti instruksi orang-orang di situ untuk turun,” kenangnya kepada Jawa Pos.
Karena tangga gate 12 Stadion Kanjuruhan cukup curam, remaja 14 tahun itu terpeleset. Dia terjatuh dan langsung tak sadarkan diri. ”Ketika saya buka mata, saya lihat ada Mas-Mas di kamar mandi, saya minta tolong,” jelasnya.
Nisa pun ditolong. Dia mengaku sempat berdiri dan melihat dalam keadaan buram. ”Mas itu bilang mata saya berdarah. Saya diminta cuci muka. Setelah itu tidak apa-apa, sudah bisa melihat lagi,” paparnya.
Perempuan kelas VIII SMP Taman Dewasa, Kota Malang, itu menuturkan, seusai cuci muka, dirinya sudah bisa berjalan. Dia keluar dari Stadion Kanjuruhan dengan digandeng pria yang sempat menolongnya. ”Di depan saya ketemu teman saya. Langsung ke puskesmas buat periksa,” ujarnya. ”Saya sudah melihat seperti biasa saat itu,” lanjutnya.
Ibunya, Anita Fransiska, menuturkan bahwa ketika menemui Nisa di puskesmas, dirinya kaget melihat kondisi anak pertamanya itu. Mata Nisa berwarna hitam. ”Bengkak di sekitar matanya. Matanya itu hitam warnanya, putih-putihnya kelihatan sedikit. Sekarang ini masih mending,” bebernya.
Jawa Pos yang kemarin (9/10/2022) mengunjungi rumah Nisa di Jalan Kresno, Malang, melihat kondisi mata Nisa masih merah. Bengkak di sekitar matanya masih terlihat. ”Tapi, sudah tidak apa-apa. Tidak sakit, sudah seperti biasa,” kata Nisa.
Sang ibu juga membenarkan. Menurut dia, mata Nisa berwarna merah seperti sekarang setelah dibawa ke rumah sakit pada Minggu (2/10) lalu.
”Di rumah sakit matanya dicuci, ada darahnya kata dokter. Lalu, beberapa kali dites pH, katanya ada bahan kimia di matanya,” tegasnya.
Kondisi yang dialami Nisa juga terjadi pada Nur Saguanto. Hingga kemarin ketika Jawa Pos berkunjung ke kediamannya di daerah Karsidi, Desa Tegalsari, Kabupaten Malang, matanya masih merah. Masih terdapat luka seperti terbakar di bagian wajahnya.
Pada bagian dada hingga perut Saguanto juga seperti ada bekas luka bakar. Membentuk garis tas selempang yang dipakainya saat tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober lalu. ”Saya sendiri tidak tahu kenapa, Mas. Saya pingsan ketika kejadian,” ujarnya.
Pemuda 19 tahun itu menuturkan, saat kejadian dirinya berada di tribun selatan. Di dekat pintu 11 saat itu. ”Saya biasanya nonton di bawah papan skor (tribun timur), tapi tidak tahu kemarin kok ingin di selatan,” ungkapnya.
Saguanto mengatakan sempat melihat tembakan gas air mata pertama. Tembakan itu mengarah ke pintu 12 dan 13. ”Itu sudah ada asap,” kenangnya.
Tapi, Saguanto yang sehari-hari bekerja sebagai petani itu tidak merasakan apa pun. Matanya tidak perih dan dadanya tidak sesak. ”Setelah itu, ada asap di atas saya. Tidak tahu itu tembakan atau apa,” ungkapnya.
Dia langsung menengok asap tebal di atasnya. Matanya seketika perih. Napasnya sesak dan badannya langsung lemas. ”Saya langsung duduk, sandaran ke bahu teman saya. Lalu, sudah pingsan, tidak sadar. Bangun-bangun di rumah sakit,” ungkapnya.
Saguanto tidak tahu siapa yang menolongnya. Dia hanya merasakan kaki kirinya sakit. Telinga dan hidung mengeluarkan darah. Wajahnya juga terluka. ”Yang paling aneh ya di dada saya ini, Mas, ngebentuk tas selempang yang saya pakai. Tidak sakit, tapi gosong gitu,” tuturnya.
Ibunya, Nafiza Zaqiatul, menerangkan, menurut dokter yang merawat di rumah sakit, mata merah dan pembengkakan di sekitarnya terjadi karena ada bahan kimia yang masuk. Untuk luka lain, dokter tidak bisa menjelaskan lantaran anak pertamanya itu sama sekali tidak ingat apa yang terjadi karena pingsan.
Luka gosong yang dialami Saguanto ternyata juga terjadi pada salah seorang korban meninggal dunia di pintu 13, Natasha Debi. Sang ayah, Defi Antok, menuturkan, ketika memandikan jenazah Natasha, dada anak sulungnya itu gosong. Wajahnya membengkak. ”Di hidungnya masih keluar darah. Tidak merah, tapi pink warna darahnya,” jelasnya.
Selain itu, mulutnya masih bau amonia. Defi makin yakin jika yang ditembakkan polisi di tribun selatan tersebut bukan sekadar gas air mata. ”Itu racun, Mas. Saya beberapa kali kena gas air mata, tidak seperti ini efeknya,” tegasnya.
(Sumber: JawaPos)