Kongres Partai Komunis Cina dan Ekonomi Global
Oleh: Suryaputra Wijaksana
(Master of Public Policy Graduate Lee Kuan Yew School of Public Policy, Singapura)
Pekan ini bakal menjadi momen penting bagi Cina dan dunia. Partai Komunis Cina (PKC) akan mulai menggelar kongres nasionalnya di Beijing pada Ahad, 16 Oktober 2022. Ini sebuah “pesta politik” negeri itu, ketika pemimpin partai akan dipilih dan arah kebijakan masa depan ditetapkan.
Bagi mata kebanyakan orang asing, termasuk orang Indonesia, kongres ini akan terlihat seperti sebuah pertunjukan wayang, yang sudah diatur sedemikian rupa ketika kisruh dan debat politik yang biasa menghiasi pertemuan parlemen tidak tampak. Hal itu karena, dalam sistem politik Cina, momen pengambil keputusan memang terjadi di balik layar dan bahkan sudah diatur berbulan-bulan sebelumnya.
Ketertutupan PKC membuat pihak luar hanya bisa menerka-nerka hasil kongres nanti. Bloomberg, media Amerika Serikat, misalnya, mencoba meraba-raba konsekuensi politik dari kongres, seperti anggota standing committee politbiro PKC (setara dengan kabinet), lowongan kosong di politbiro, dan berbagai gelar resmi yang diberikan kepada Presiden Cina Xi Jinping.
Kongres ini mungkin terlihat membosankan. Tapi kongres kali ini berbeda. Presiden Xi Jinping diperkirakan ditunjuk sebagai presiden untuk jabatan periode ketiga, yang mengubah tradisi pergantian kekuasaan antara faksi teknokrat dan “darah biru” PKC. Presiden Xi telah mencapai puncak kekuasaan dan mendekati kultus kepribadian Mao Zedong, bapak bangsa Cina. Ia mendapat gelar “pemimpin rakyat”. Pikirannya masuk dalam konstitusi dan kampanye antikorupsinya telah membersihkan pemerintah dari musuh-musuh politik.
Selama dua kali menjabat presiden dalam sepuluh tahun terakhir, Xi telah melihat banyak perubahan di Cina dan dunia. Saat dia mulai menjabat presiden pada 2013, globalisasi masih menjadi “status quo” dunia. Cina sedang menjalankan modernisasi mengikuti perkembangan negara berkembang lainnya dengan pertumbuhan kelas menengah yang tinggi dan diikuti oleh merebaknya media sosial. Namun semua perkembangan itu diperkirakan telah mengganggu elite politik PKC, termasuk Xi, yang khawatir akan legitimasi politik partai. Pemerintah Xi pun memulai berbagai kampanye untuk mengurangi korupsi dan musuh politik, kembali meresapi layar tayang dengan propaganda nasionalisme, serta mengimplementasikan kebijakan luar negeri yang semakin asertif.
Jika Xi diberi jabatan presiden untuk ketiga kalinya, kemungkinan besar ia akan melanjutkan kebijakan ekonomi yang kental akan nasionalisme. Ia juga diperkirakan meneruskan anggota tim ekonominya, yakni He Lifeng, Han Wen Xiu, dan Guo Shuqing, yang dapat melanjutkan warisannya.
Contohnya sudah ada dan terjadi sekarang. Kebijakan “kemakmuran bersama” telah meningkatkan kontrol pemerintah terhadap sektor swasta, yang mengurangi pertumbuhan di sektor teknologi dan industri. Kebijakan lain yang nasionalistis, antara lain penolakan Cina terhadap vaksin mRNA Covid-19 dari negara Barat, seperti bikinan Pfizer dan Moderna, walaupun efikasinya lebih tinggi, menyebabkan perekonomian negeri itu terhambat karantina wilayah (lockdown) yang tak kunjung berakhir.
Di masa depan, kemungkinan besar pemerintahan Xi akan menerapkan kebijakan yang semakin memproyeksikan Cina sebagai kekuatan besar global dan mengambil keuntungan dari divergensi perekonomian global. Cina diprediksi terus mendorong internasionalisasi mata uangnya, renminbi (RMB). Fasilitas yang telah ada, seperti RMB Liquidity Arrangement (RMBLA), yang menyediakan likuiditas bagi bank-bank sentral, akan diperbesar untuk memperdalam likuiditas pasar. Perbankannya juga akan semakin agresif dan efisien untuk membantu internasionalisasi RMB. Peran Cina sebagai pembeli surat berharga Amerika Serikat pun akan susut perlahan, seiring dengan terpisahnya ekosistem finansial negeri itu dari sistem Barat.
Di sisi manufaktur, Cina akan meraup manfaat dari sanksi Barat terhadap Rusia. Energi dari Rusia dalam bentuk minyak dan gas akan mengalir ke industri Cina, yang semakin memajukan keuntungan kompetitifnya dalam manufaktur. Dalam jangka panjang, Cina dapat menggantikan Eropa sebagai pusat manufaktur global. Kemungkinan besar Cina juga dapat mendekati swasembada dalam produksi semikonduktor, yang semakin memajukan industri elektronik domestiknya terpisah dari Barat.
Hasil paling mungkin dari pertemuan Kongres Nasional PKC adalah terpilihnya Xi Jinping sebagai presiden untuk periode ketiga, yang akan berpengaruh besar bagi Indonesia.
Pertama, kebijakan "dynamic zero Covid" diprediksi terus berlanjut akibat penolakan Cina terhadap vaksin asing dan alasan politik. Ini akan menekan perekonomian domestik Cina, yang bakal mengurangi ekspor produk andalan Indonesia, seperti bijih mineral dan baja. Namun, dalam jangka panjang, penguasaan Cina terhadap manufaktur global akibat energi murah Rusia dapat mengubah rantai suplai global. Indonesia dapat menarik investasi baru dari Cina, terutama di industri hulu yang berhubungan dengan energi hijau.
Xi juga kemungkinan besar dapat merevitalisasi Belt and Road Initiative (BRI) yang telah mangkrak. Ini menguntungkan Cina karena akan menggunakan kapasitas lebih yang diakibatkan oleh perlambatan ekonomi global. Selain itu, bila pinjaman BRI didenominasikan dalam mata uang RMB, Cina akan memperoleh manfaat tambahan.
Namun Indonesia harus berhati-hati. Proyek mercusuar kereta cepat Jakarta-Bandung, yang overbudget (melebihi anggaran yang ditetapkan), dapat terulang dan merugikan pemerintah dalam aspek keuangan serta modal politik untuk pembangunan infrastruktur. Untuk ini, pemerintah dapat menggunakan Indonesia Investment Authority (INA) sebagai entitas yang dapat memilah investasi BRI yang menguntungkan secara komersial.
Dorongan Cina untuk menginternasionalkan RMB juga akan berdampak pada Indonesia. Kawasan Asia akan semakin mengurangi penggunaan dolar Amerika sehingga mata uang Asia, seperti rupiah, akan lebih tangguh terhadap volatilitas nilai tukar. Kebijakan suku bunga rendah yang ditempuh Cina, yang berkebalikan dari kebijakan suku bunga tinggi bank sentral Amerika, The Fed, juga dapat meningkatkan pinjaman dalam RMB di Asia, termasuk Indonesia.
Namun ada risiko kebijakan yang akan diambil oleh Xi, yang dapat meningkatkan konflik geopolitik dengan blok Barat. Untuk itu, Indonesia harus berjalan dengan sangat hati-hati dan “main dua kaki” karena Indonesia membutuhkan blok Barat dan Cina. Seperti pepatah Cina kuno, dalam setiap krisis, pasti ada kesempatan.
(Sumber: Koran Tempo, Jumat, 14 Oktober 2022)