SUNGGUH biadab perlakuan atas pegawai kontrak di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah yang menjadi korban pemerkosaan.
Para pejabat kementerian memaksa korban menikah dengan pegawai lain yang memperkosanya.
Menteri Teten Masduki, aktivis demokrasi dan pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW), hanya menjatuhkan sanksi ringan berupa penurunan jabatan satu tingkat selama setahun dan membiarkan pemerkosa mendapatkan beasiswa.
Syahdan, pada awal Desember 2019, para pegawai Kementerian Koperasi menggelar rapat di Bogor. Empat pegawai memperkosa korban di kamar hotel tempat mereka menginap. Perempuan yang menjadi korban itu adalah tenaga kontrak yang baru bekerja setahun. Para pemerkosa adalah pegawai golongan 2C, calon pegawai, dan dua tenaga honorer.
Korban melapor ke Kepolisian Resor Kota Bogor. Polisi menahan para pemerkosa. Namun keluarga pelaku—di antaranya pejabat tinggi di Kementerian Koperasi—mendatangi keluarga korban dan memintanya mencabut laporan. Mereka meminta korban menerima salah satu pemerkosa, seorang calon pegawai negeri sipil yang belum menikah, untuk menjadi suaminya.
Celakanya, polisi Bogor juga meminta korban menerima pinangan itu. Alasannya mentereng: restorative justice, penyelesaian hukum secara damai, yang jadi program Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Pak Sigit, anak buah Anda jelas punya logika yang ngaco dan tak paham ihwal apa yang Anda inginkan, apalagi paham apa itu keadilan.
Keadilan restoratif hanya bisa untuk tindak pidana ringan. Itu pun, syaratnya kedua belah pihak berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dalam penyelesaian pelanggaran hukum tersebut. Sedangkan pemerkosaan adalah kejahatan sangat berat. Korban pemerkosaan menderita trauma berkepanjangan. Menikahkan korban dengan pemangsanya adalah tindakan amoral dan kejahatan. Apatah lagi disebut keadilan restoratif.
Korban dan keluarganya berada dalam posisi yang lemah. Mereka menghadapi tekanan pejabat Kementerian dan polisi yang punya kekuasaan. Jika ia menerima pinangan itu, ini karena relasi kuasa yang begitu timpang. Alih-alih paham logika ini, polisi malah bangga telah menyelesaikan misi keadilan restoratif dan membebaskan para pemerkosa itu dari sel tahanan.
Setelah menikahi korbannya, pelaku pemerkosaan itu menggugat cerai. Kementerian Koperasi juga mengizinkan pelaku melanjutkan kuliah dengan beasiswa, setelah menjalani sanksi penurunan jabatan setahun. Bagaimana bisa seorang penjahat mendapatkan beasiswa negara yang salah satu syaratnya adalah berkelakuan baik?
Korban kini menggugat penghentian penyidikan kasus pemerkosaan yang menimpanya. Kali ini, jika masih bisa berharap, polisi, jaksa, dan hakim mesti berpihak kepadanya. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual jelas menyebut pemaksaan perkawinan pelaku dan korban pemerkosaan adalah kejahatan.
Para pemerkosa itu harus dihukum berat, pejabat Kementerian Koperasi dan polisi yang memaksakan perkawinan harus mendapat sanksi, dan negara mesti melindungi korban pemerkosaan dengan memenuhi hak-haknya. Tanpa itu, Indonesia kembali ke zaman primitif.
(Sumber: Editorial Koran TEMPO, Selasa, 25 Oktober 2022)