Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI
SAMA halnya seperti pembunuhan 6 orang Laskar FPI dan Brigadir Joshua yang menyita perhatian publik, tragedi kanjuruhan yang menyebabkan kematian 131 orang suporter klub sepak bola Arema Malang, disinyalir akan mengalami proses hukum yang berbelit-belit kalau saja tidak mau disebut menguap.
Rakyat dan seluruh dunia sepertinya akan terbiasa menyaksikan kebiadaban dan kejahatan kemanusiaan luar biasa di negeri yang mengagungkan Pancasila. Terlebih ketika pelakunya memiliki irisan dengan kekuasaan, entah itu oligarki atau pejabat negara bahkan oleh pucuk tertinggi pemimpin pemerintahan.
Hari demi hari bangsa Indonesia bukan saja mengalami kemunduran, lebih dari itu terus mengalami dekadensi moral dan berada pada titik nadir kenistaan peradababan kemanusiaannya. Penyimpangan hingga kejahatan luar biasa terus menyeruak ke dalam sendi-sendi kehidupan rakyat, di semua sektor dan dipertontonkan secara telanjang. Kalangan jelata, kelas menengah sampai pada kelompok elit dan para pemimpin, seakan berjamaah ikut membangun ornamen distorsi penyelenggaraan negara. Kebohongan dan kemunafikan begitu terstruktur, sistematik dan masif menyelimuti perilaku bangsa ini baik secara personal maupun istitusional.
Rakyat tidak lagi mampu menemukan pemimpin yang patut menjadi contoh dan keteladanan. Rasa kecewa, penyesalan dan frustasi terhadap negara akibat dkuasai segelintir orang hipokrit, fasis dan dzolim. Membuat rakyat semakin skeptis dan apriori terhadap situasi dan kondisi negara. Sebagian besar merasa takut, tertekan dan terancam oleh perilaku kekuasaan. Sementara sedikit yang memiliki kesadaran kritis dan berani melakukan perlawanan demi menegakkan kebenaran dan keadilan, meskipun harus mengambil resiko teraniaya, di penjara dan kehilangan nyawa sekalipun. Realitas yang demikian, pada akhirnya memunculkan psikopolitik dan beragam karakter masyarakat. Ada yang tak peduli, ada yang ingin cari selamat dan ada juga yang ingin memanfaatkan dan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Sementara sedikit yang mau menempuh jalan pahit dan penderitaan, menelusuri komitmen dan konsisten pada selasar kebenaran serta keadilan.
Sudah tak bisa dihitung lagi pertumpahan darah dan kematian berlangsung di negeri yang katanya memiliki adab ketimuran dan penuh toleransi. Kemiskinan beriringan dengan kejahatan seakan terlalu dominan mengubur potensi kekayaan alam yang menjanjikan rakyatnya hidup dalam kesejahteraan. Namun apa mau dikata, negara yang seharusnya gemah ripah loh jinawi itu perlahan dan pasti mewujud sebagai sebuah bangsa yang korup, bengis dan psikopat. Demi merebut dan mempertahankan kekuasaan, segelintir orang yang sejatinya minoritas tega dan terbiasa menghalalkan segala cara. Konstitusi dan demokrasi dimanipulasi, mirisnya kebanyakan rakyat menopangnya dengan ikut mendukung, mengikuti dan pasrah menerimanya walau harus hidup sengsara dan menderita. Ekonomi, politik, hukum dan keamanan yang blangsak dan morat-marit sepertinya tetap harus diterima walau dengan bersungut-sungut dan setengah hati berunjuk rasa. Rakyat, negara dan bangsa Indonesia tak ubahnya manusia lemah, tak berdaya dan sekarat menghadapi serbuan zombi yang ganas dan mengerikan.
Duet Maut Presiden dan Polri
Rezim dua periode yang kontroversi dan dipenuhi polemik tak berujung. Bukan saja berdampak menciptakan pembelahan sosial dan rusaknya sistem ketatanegaraan. Kekuasaan yang kian kemari semakin otoriter dan diktator ini, terus-menurus mengamputasi kedaulatan rakyat sekaligus menghancurkan mentalitas dan moralitas bangsa. Jargon revolusi mental yang menggema saat kampanye, seketika berubah menjadi penyakit mental saat berkuasa. Alih-alih menjadi pemimpin yang menghadirkan negara kesejahteraaan, presiden justru membawa kehancuran. Begitupun Polri yang mendapat limpahan kekuasan tak terbatas dari presiden. Bukannya menjadi institusi yang melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Kebanyakan polisi malah menjelma menjadi aparat bejat.
Sinergi dan elaborasi presiden dan polri, berpadu menjadi rezim yang menakutkan, berbahaya dan mengancam keselamatan rakyat. Antara presiden dan Polri seperti pasangan yang serasi dan saling mengisi dalam mengawal, merebut dan mempertahankan kekuasaan. Presiden dan Polri tak ubahnya duet maut kekuasaan di negara yang seolah-olah berlandaskan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Distorsi kebijakan Presiden dengan disposisi Polri yang haus kekuasaan dengan orientasi harta dan jabatan, cenderung menjadikan Indonesia sebagai negara kekuasaan. Jauh dari negara demokrasi dan negara hukum, bagai setali tiga uang, kinerja presiden dan Polri semakin kental dengan gaya kepemimpinan yang difensif, penuh ambisi dan mengandalkan pendekatan represi. Jika ada yang kritis dan melakukan perlawan, cukup diabaikan, jika perlu diperhatikan dan atau ditiadakan.
Presiden yang terlanjur dianggap publik sebagai raja basa-basi dan menjadi boneka oligarki. Bersanding dengan Polri yang yang semakin kehilangan presisi. Keduanya berangsur-angsur berhasil membangun dinasti tirani bagi kehidupan demokrasi. Tak cukup sekedar itu, rezim tanpa nurani yang telah membawa negeri dalam krisis multidimensi, berhasil memoles arogansi kekuasaannya menjadi musuh rakyat. Kekejiannya layak disetarakan dengan pembunuh berdarah dingin. Menghadapi aspirasi dan dinamika rakyat selalu dihadapi dengan pola tangan besi. Tanpa pendekatan persuasif, tanpa pendekatan dari hati ke hati. Rezim menjadi begitu miris dan tragis, lembut dan ramah terhadap oligarki, namun kepada rakyat rajin menghampiri dan memberi tragedi.
Mungkin karena terlalu lama mengidap politik sekuler dan liberal, rezim terlalu kering menerima asupan sipritual dan religi. Tanpa beban mengabaikan kemanusiaan, mengingkari dan menghianati cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Maraknya pembunuhan terhadap rakyat sendiri atas nama negara dan prosedur keamanan kini semakin permisif. Mulai dari kalangan jelata, intelektual bahkan sampai mengorbankan aparaturnya sendiri, rezim tega melakukannya demi kekuasaan duniawi. Begitu mengenaskan tragedi demi tragedi, kematian demi kematian, seperti virus yang mewabah di bumi pertiwi. Pembunuhan orang per orang, kelompok dan secara massal, sudah menjadi lumrah dan pemandangan yang biasa. Tak cukup dilanda pandemi, negeri nusantara sedang mengalami keberadaban yang mati suri.
kematian enam orang Laskar FPI yang disinyalir bagian dari operasi intelejen hitam negara, kematian brigadir polisi Joshua yang yang motif pembunuhannya terbantahkan, serta tragedi Kanjuruhan yang mengguncang perhatian nasional dan internasional.
Dalam kesadaran dunia, Indonesia menjadi negara yang kerdil dan primitif. Di mata rakyat di negerinya sendiri, sejatinya tragedi Kanjuruhan itu adalah kehancuran bagi sebuah negara bangsa yang bernama Indonesia. Boleh jadi itu pandangan itu wajar, setidaknya dalam pandangan keagamaan, jangankan pembunuhan massal, membunuh satu nyawa manusia saja tanpa alassn yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan, itu sama saja dengan membunuh seluruh umat manusia.
Kadangkala terbesit dalam pikiran, seandainya sedikit saja rezim ini terlebih pada presiden dan Polri, sekali saja kerasukan nilai- nilai spiritual dan religi. Tentunya akan sadar betapa pentingnya dan maha dahsyatnya menjaga dan melindungi satu nyawa rakyatnya, termasuk harta, kehormatan dan martabatnya.
Semoga saja sewaktu-waktu, rezim ini kesetanan dengan kemanusiaannya.