[Editorial Koran Tempo]
Waspada Main Api Komisi Antikorupsi
KEKHAWATIRAN banyak kalangan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menjadi alat politik penguasa dalam Pemilihan Umum 2024 sangat mungkin terjadi. Indikasi tersebut terlihat dari pengusutan dugaan korupsi penyelenggaraan Formula E yang bisa menyeret Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Sebagai lembaga penegak hukum, keputusannya untuk menetapkan seorang pejabat menjadi tersangka harus benar-benar didasari pertimbangan hukum. Proses hukum yang patut selanjutnya harus menjadi syarat utama, bukan karena urusan politik ataupun pesanan pihak tertentu.
Balapan Formula E menjadi perbincangan sejak dulu karena banyak sekali keanehannya. Di antaranya soal penyelenggaraan yang berubah-ubah waktunya, termasuk besaran fee dan biaya operasionalnya. Semula biayanya ditaksir mencapai Rp 2,3 triliun, belakangan kemudian menjadi kurang dari separuhnya.
Namun yang lebih membetot perhatian publik dalam kasus Formula E adalah karena melibatkan Anies Baswedan, salah satu nama yang digadang-gadang sebagai kandidat presiden untuk perhelatan pemilu presiden 2024 mendatang. Nama Anies semakin mencuat karena Partai NasDem sudah resmi mengusulkannya menjadi calon presiden.
KPK, sebagai lembaga antikorupsi, tentu berkewajiban mengusut dugaan korupsi dalam proyek yang menggunakan anggaran negara itu. Di tengah kontroversi di masyarakat soal ada-tidaknya korupsi dalam kasus ini, tugas Komisi-lah untuk membuktikannya. Pelbagai opini di masyarakat tak jadi masalah jika didengarkan, tapi jangan jadi penentu, apalagi kemudian menjadi dalih untuk menentukan keputusan hukum.
Dalam menangani kasus seperti Formula E ini, Undang-Undang KPK sudah memberikan panduan jelas. Untuk menetapkan sebuah kasus sebagai korupsi, mesti dibuktikan ada unsur memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dan dapat merugikan negara ataupun perekonomian negara. Untuk menetapkan seseorang sebagai tersangkanya, minimal harus terdapat dua alat bukti.
Ringkasnya, dalam kasus Formula E, KPK mesti menemukan minimal dua alat bukti tersebut jika ingin meningkatkan status kasusnya ke tahap penyidikan. Jika belum sampai, perpanjanglah waktu dan intensifkan kegiatan penyelidikan. Bisa jadi bukan tak ada bukti, melainkan hanya belum ditemukan.
Menjelang perhelatan demokrasi yang tinggal dua tahun lagi, sudah pasti ada faktor politik yang akan bermain. Lembaga seperti KPK sangat mungkin dipakai untuk itu. Dengan menetapkan seseorang sebagai tersangka, ini akan menghentikan karier politik orang itu. Minimal bisa merontokkan elektabilitasnya.
KPK memang sudah ambruk kredibilitasnya di mata publik sejak tiga tahun lalu. Setelah ada revisi Undang-Undang KPK pada 2019, lembaga ini seperti berada di bawah eksekutif dan kehilangan independensinya. Kepercayaan publik pada KPK juga merosot, sangat jauh berbeda dengan KPK periode sebelumnya yang hampir selalu berada di posisi tertinggi.
Citra buruk KPK ini juga diperparah oleh perilaku sebagian komisionernya yang tidak menjaga etika dan melakukan tindak pidana. Firli Bahuri berkali-kali dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK karena kasus etik, dari soal pertemuannya dengan orang yang kasusnya disidik KPK hingga gratifikasi pemakaian helikopter. Lili Pintauli, kolega Firli, dinyatakan bersalah secara etik oleh Dewan Pengawas dan kemudian memilih mengundurkan diri.
Melihat kinerja pemberantasan korupsi yang semakin buruk dan potensi lembaga ini menjadi “tukang pukul” penguasa untuk menyerang lawan politik dalam Pemilu 2024, mungkin sudah saatnya kita menyerukan agar KPK dibubarkan. Selain hanya menghabiskan uang negara, ini pilihan terbaik untuk menghindari KPK menjadi alat politik penguasa.
(Sumber: Koran TEMPO, Selasa, 4 Oktober 2022)