Dilema Bu Mega?
Sebagai ketum PDIP, Bu Megawati Soekarnoputri sepertinya menghadapi dilema dalam menatap pemilu 2024. Ia harus memilih diantara dua pilihan, Ganjar atau Puan? Padahal partai yang dipimpinnya justru sedang dalam posisi leading.
Seperti kita tahu, PDIP memiliki banyak keunggulan dibanding partai-partai lain. Pertama, hanya PDIP yang memiliki tiket penuh untuk mengajukan capres-cawapres sendiri pada pilpres 2024 mendatang. Sementara partai lain harus berkolaisi, agar genap memenuhi 20% syarat minimal. Termasuk Nasdem yang sudah deklarasi bacapres sekalipun, masih butuh kawan koalisi untuk mendaftarkan Anies Baswedan ke KPU.
Kedua, hanya PDIP partai yang selau mendapatkan posisi puncak dalam hampir semua survei politik selama ini. Artinya PDIP berpeluang mencatat tiga kali menang pemilu, bila tidak salah dalam melangkah.
Ketiga, kembali hanya PDIP yang memiliki dua kandidat potensial untuk menjadi capres ataupun cawapres. Mbak Puan Maharani (PM) sang ketua DPR RI dan Ganjar Pranowo (GP) Gubernur Jawa Tengah.
Namun bersamaan keunggulan-keunggulan tersebut, dilema terjadi.
***
Mbak Puan jelas anak keturuan Bu Mega, penerus trah Soekarno. Dimana PDIP sejauh ini efektif disatukan oleh Bu Mega sebagai anak sang proklamator. Disamping tentu sebagai seorang ibu, ingin melihat anaknya mendapatkan posisi terbaik.
Sayangnya, sejauh ini elektabilitas Puan dianggap belum cukup memadai. Dalam beberapa survei, elektabilitas Puan masih berlum beranjak dari satu digit. Jauh dari 3 besar GP, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.
Bahkan di basis massa partainya sendiri. Charta Politika merilis, Puan hanya akan mendapat dukungan 6,2% dari pemilih PDIP. Kalauh jauh dari GP yang akan dipilih 68,5%. Bahkan masih tertinggal dari PS 9,7%, yang bukan dari PDIP.
Kalau menggunakan asumsi survei tersebut, mengajukan Puan beresiko pula terhadap soliditas suara pemilih PDIP. Artinya dua resiko sekaligus, kalah pilpres dan kalah pileg.
Sementara kalau Bu Mega harus memilih GP sebagai capres, harus menyingkirkan pertimbangan trah Soekarno. Tidak hanya nasib Puan, namun juga PDIP. Bahkan dorongan ketum dari luar trah Soekarno akan muncul dan menguat.
Bila itu terjadi, dimungkinkan akan muncul banyak kubu di tubuh partai. Yang beresiko juga terjadinya konflik besar, hingga perpecahan.
***
Seandainya saja, elektabilitas Puan dalam waktu dekat ini bisa diperbaiki, menembus dua digit dan terus bergerak naik. Puan semakin meyakinkan baik di internal maupun eksternal partai, tentu dilema Bu Mega ini bisa terjawab. Puan capres dan GP diberikan posisi khusus.
GP sendiri tentu akan legawa, karena Bu Mega lah yang sejak awal mengangkat dia dari "bukan siapa-siapa" saat itu. Kemudian dicalonkan menjadi DPR RI, yang semula tidak lolos. Namun karena melihat potensi yang dimiliki akhirnya, Bu Mega mengangkat melalui PAW. Jakob Tobing saat itu dijadikan duta besar Korea Selatan, lalu PAW diganti Ganjar.
Bu Mega juga memilih GP untuk menjadi calon gubernur Jawa Tengah. Di detik terakhir, GP menyisihkan Rustriningsih salah satu kader perempuan terbaik PDIP saat itu. Singkat kata GP tahu persis posisinya di depan Bu Mega.
***
Tapi apakah mungkin mengakselerasi elektabilitas Puan dalam waktu dekat ini. Dimana capres-cawapres harus didaftarkan pada 7-13 September 2023.
Dalam politik apa sih yang tidak mungkin? Apalagi makna politik adalah seni mengelola segala kemungkinan. Dus, peluang Puan dengan waktu sepuluh bulan masih terbuka, asal dikelola dengan cara yang benar-benar tepat.
Pemasangan ribuan bilboard tanpa pesan yang jelas. Mengejar citra merakyat dengan menanam padi, namun berjalan maju adalah contoh-contoh kesalahan fatal. Demikian juga, saat memaksakan diri membagi kaos, dalam suasana kurang menyenangkan.
Padahal Puan sudah memiliki modal popularitas yang sangat tinggi. Punya "segala macam dukungan" yang diperlukan. Tinggal bagaimana mencari titik hubung yang paling tepat antara Puan dan publik. Muatan yang menjawab pertanyaan Why Puan? Sekaligus menghubungkan dan mengikatnya kuat-kuat.
Mungkinkah?
Sebelum ketentuan-Nya ditetapkan, segala kemungkinan bisa saja terjadi.
By Setiya Jogja
(Lingkar Studi Pemanahan)
*fb