Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
Tiba-tiba saja Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan menjadi momok bagi elite yang sedang menikmati kekuasaan. Mereka ingin kondisi yang menguntungkan ini berlanjut pasca Jokowi, meskipun harus menghentikan kekuatan-kekuatan sosil-politik yang sedang bekerja untuk membentuk sejarah hari esok.
Anies dilihat sebagai tokoh yang berpotensi mengubah status quo. Peluang itu kini semakin terbuka sejak Partai NasDem menjadikannya capres. Deklarasi NasDem itu langsung menyita perhatian publik dan parpol-parpol pendukung pemerintah kebakaran jenggot.
Maka, kita menyaksikan eskalasi dinamika politik nasional. Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto pun bereaksi secara tidak proporsional. Aneh, dia menyayangkan NasDem sebagai salah satu parpol pendukung rezim Jokowi mengusung Anies yang dipandang sebagai tokoh oposisi terhadap pemerintah. Bukankah fungsi parpol adalah wadah perekrutan pemimpin bangsa? Lagi pula, mengapa ia tak keberatan ketika Gerindra mencapreskan Ketumnya Prabowo Subianto?
Sementara itu, DPP PPP di beberapa daerah mendeklarasikan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai bakal capres partai yang makin tergerus populeritasnya. Sedangkan Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri buru-buru mengadakan pertemuan khusus dengan Jokowi di Istana Bogor.
Tentu saja kedua tokoh membicarakan pilpres mendatang di tengah meningkatnya populeritas Anies. Apakah Puan Maharani atau Ganjar yang akan diusung PDI-P. Fenomena Anies nampaknya membuat Megawati harus realistis dengan, mungkin, harus melupakan rencana pencapresan Puan kalau PDI-P ingin brrsaing dengan parpol pengusung Anies. Pasalnya, posisi Anies sebagai capres makin pasti setelah Partai Demokrat dan PKS memberi isyarat kuat akan mengikuti jejak NasDem.
Alhasil, fenomena reaksi elite parpol justru hanya mengkonfirmasi ketokohan Anies. Memang hasil jajak pendapat berbagai lembaga survei konsisten menempatkan Anies di tiga besar bersama Ganjar dan Prabowo sebagai aspiran capres. Bahkan hasil survei CSIS terbaru mengungkapkan Anies akan menang kontestasi capres bila head to head dengan Ganjar maupun Prabowo.
Fakta di atas menambah ketakutan Jokowi, parpol, maupun oligarki. Tak heran, jauh-jauh hari santer terdengarJokowi mengambil berbagai langkah untuk melanggengkan kekuasaannya atau menjegal Anies. Kekuasaan memang nikmat dan Jokowi tak ingin kehilangannya.
Mulanya Istana ditengarai memerintahkan Golkar, PKB, dan PAN mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden. Setelah ide tak senonoh ini ditolak publik, muncul gagasan tiga periode. Karena gagasan ini pun dikecam publik, Jokowi memerintahkan pembentukan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) — terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP — yang, menurut politisi senior PPP Habil Marati, bertujuan menjegal Anies.
Sudah jadi rahasia umum bahwa pemimpin tiga parpol di atas merupakan orang-orang bermasalah secara hukum yang sengaja dipelihara untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan rezim demi kelanggengan kekuasaan. Sinyalemen ini masuk akal karena kita sulit mencerna logika politik PAN dan PPP yang mayoritas konstituennya adalah simpatisan Anies justru mendukung tokoh lain.
Maka demi menyelamatkan partai, Habil Marati menyatakan ratusan kader senior PPP di berbagai daerah dalam waktu dekat akan mendeklarasikan Anies capres PPP. Dengan begitu, PPP akan mendapat coattail effect Anies sehingga diharapkan partai itu masih ajan lolos ke parlemen pada pemilu mendatang.
Langkah yang sama diambil majelis-majelis PAN yang akan segera mencapreskan Anies. Golkar pun terancam pecah setelah politisi seniornya, Akbar Tandjung, mengumumkan dukungannya pada Anies.
fTerkait upaya Jokowi menjegal Anies terungkap dalam laporan Tempo bahwa Ketua KPK Firli Bahuri terus mendesak-desak kepada anak buahnya untuk segera mempersangkakan Anies terlibat korupsi dalam event Formula-E. Namun, sebagian komisioner KPK menolak karena ketiadaan bukti. Dugaan Jokowi berada di balik persekongkolan jahat ini muncul karena sejak UU KPK direvisi, badan anti-rasuah ini masuk ke dalam rumpun eksekutif yang langsung berada di bawah kendali presiden.
Dugaan persekongkolan jahat inilah yang kiranya mendorong Ketum NasDem Surya Paloh mempercepat pendeklarasian Anies sebagai capres Nasdem guna menutup celah KPK mempersangkakan tokoh itu sebagai koruptor. Memang menurut mantan komisioner KPK Bambang Widjonarko dan Saut Situmorang tidak ada korupsi dalam kasus itu. Para pengamat politik malah melihat KPK kini telah menjadi alat kekuasaan.
Pernyataan mereka beririsan dengan sinyalemen Presiden ke-6 RI SBY bahwa tangan kekuasaan sedang berusaha agar capres-cawapres hanya diikuti dua pasangan saja. Tentu Anies tidak termasuk di dalamnya. Bahkan beredar video Andi Arief, pengurus teras Demokrat, yang menampilkan dialog Jokowi dengan seseorang. Jokowi meyakinkan orang itu bahwa Anies tak akan menjadi capres karena dia akan segera masuk penjara. Lebih jauh, Jokowi menyatakan pemimpin di KIB pun akan dipenjarakan kalau tidak nurut.
Mengapa Anies begitu ditakuti? Jawabannya tidak sulit: karena Anies akan menghadirkan perubahan. Dengan kata lain, Anies tidak akan ikut mentah-mentah blue print developmentalism atau pembangunanisme Jokowi yang berciri Orde Baru. Ketika hadir dalam acara pencapresan NasDem, Anies menyatakan platform pembangunannya akan merupakan continuity (keberlanjutan) dan change (perubahan). Politisi senior NasDem Zulfan Lindan lebih eksplisit bahwa Anies adalah antitesa Jokowi. Artinya, selain kemungkinan Anies akan memilah-milah mana proyek pembangunan Jokowi yang strategis yang tidak bertentangan dengan kepentingan negara, pasti juga ia akan melakukan koreksi atau bahkan meninggalkan kebijakan pembangunan Jokowi yang mubazir dan bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan, yaitu mempersatukan kembali masyarakat yang terpolarisasi dengan menciptakan keadilan sosial.
Menurut Anies, persatuan tak akan terbangun tanpa dimulai dengan penciptaan keadilan sosial. Dua hal ini berhasil ia lakukan di Jakarta. Anies juga tak akan tunduk pada pemerasan oligarki yang dimanjakan Jokowi sekiranya kepentingan mereka kontradiktif dengan kepentingan negara dan melukai rasa keadilan masyarakat. Tentu saja Anies tak antimodal karena hal itu juga penting untuk memajukan bangsa, tapi kepentingan negara tak boleh kalah oleh kepentingan pemodal. Dengan kata lain, Anies akan meminta oligarki mengkalibrasi kepentingan mereka dengan kepentingan negara.
Sikap Anies yang diperkirakan ini bukanlah hal omong kosong. Ia telah membuktikannya ketika menutup klub malam Alexis dan menghentikan proyek reklamasi 13 pulau milik oligarki yang didukung rezim Jokowi. Ia juga akan menguatkan kembali demokrasi yang melorot, memulihkan kekuasaan KPK yang dilemahkan, merajut kembali kerukunan masyarakat yang pecah karena perbedaan pilihan politik, dan mungkin menghentikan proyek IKN yang meminta dana APBN cukup besar di saat ekonomi nasional sedang menghadapi masalah dan rakyat makin susah akibat resesi dunia yang dipicu kenaikan harga BBM dan pangan.
Memang tidak masuk akal kita mengadakan pemilu yang demikian mahal kalau pemerintah baru nanti hanya untuk meneruskan kebijakan rezim sebelumnya yang banyak cacatnya. Di mana-mana di dunia ini, kecuali di negara komunis, otoritarian, dan monarki absolut, pemilu dimaksudkan untuk memungkinkan terjadinya sirkulasi kepemimpinan yang muncul dengan ideologi atau gagasan baru. Pemimpin itu kemudian akan mengevaluasi menyeluruh apa yang sudah, sedang, dan akan dilakukan pemimpin sebelumnya.
Terlebih, dunia pasca Jokowi akan sangat berbeda. Perang Ukraina yang belum ketahuan kapan akan berakhir akan mengubah dunia secara mendasar. Pasca Jokowi, Indonesia harus menanggulangi ekonomi yang terpukul hebat akibat resesi global yang diciptakan perang. Hal ini memerlukan pembenahan sosial-politik di dalam negeri untuk menciptakan stabilitas yang diperlukan sebagai syarat pembangunan.
Outlook pemerintah terkait geopolitik regional dan global yang berubah juga harus didesain ulang guna menjawab tantangan-tantangan baru yang pelik. Untuk semua itu, presiden baru yang hanya mrmbeo pada pandangan lama dan blue print pembangunan Jokowi dan tak punya gagasan besar untuk menjawab perubahan internal dan eksternal yang fundamental dipastikan tidak akan membawa bangsa ini ke mana-mana kecuali keterpurukan lebih jauh. Diperlukan pemimpin extraordinary yang selalu berpikir holistik dalam setiap langkah dan kebijakannya.
Kebetulan di antara aspiran capres yang ada, selain Anies, tidak ada yang memenuhi standar minimal untuk menjawab tantangan-tantangan yang dibicarakan di atas. Toh, mereka mengaku hanya akan meneruskan program pembangunan Jokowi. Dalam konteks ini, tampak Anies adalah putera fajar yang dilahirkan Indonesia pada simpul sejarah yang tepat untuk memimpin bangsanya. Upaya menghentikan langkah Anies sesungguhnya merupakan upaya melawan sejarah, sunnatullah, bahwa everything change except changing. Ya, segala hal di dunia ini niscaya akan berubah kecuali perubahan itu sendiri. Siapa yang menahan jalannya perubahan akan dilindas sejarah. Tangsel, 12 Oktober 2022. [suaranasional]