Antitesis
Oleh: Erizal
Hiruk-pikuk copras-capres saat ini, kata antitesis sedang dipersoalkan. Dipersoalkan oleh PDIP, Hasto Kristiyanto, satu di antaranya. Pencetusnya, Zulfan Lindan, politisi NasDem.
Kata Zulfan Lindan, Anies Baswedan, yang dideklarasikan sebagai capres NasDem, adalah antitesis Jokowi. Harusnya, tak apa-apa. Apa masalahnya? Tapi, NasDem barisan Jokowi. Dianggap masalah.
Tapi, apa pun yang keluar dari Anies Baswedan dan NasDem sedang dipermasalahkan PDIP. Kata antitesis ini hanya bola "cogok". Langsung di-smash PDIP. Kalau Zulfan Lindan pengamat, tak ada masalah. Kata antitesis, kerap dipakai.
Sialnya, NasDem terpengaruh. Zulfan Lindan seperti ditegur, bahkan dinonaktifkan. Ia tidak boleh lagi muncul mewakili NasDem. Sejak awal, Surya Paloh memang ingin tampil beda, mengambil inisiatif, tapi tak hendak dikesankan melawan.
Kata antitesis ini sudah dianggap teori yang keramat dalam kamus perpilpresan. Jokowi sendiri dianggap antitesis SBY. SBY antitesis Megawati, Megawati antitesis Gus Dur, Gus Dur antitesis Habibie, Habibie antitesis Soeharto, dan Soeharto antitesis Soekarno. Begitulah.
PDIP ingin kalau NasDem menganggap Anies antitesis Jokowi, maka hari ini juga angkat kaki dari kabinet Jokowi. NasDem tentu tak mau. Wong, Prabowo saja yang kalah Pilpres, masuk. Kok NasDem yang ikut berjuang dan menang Pilpres, justru keluar. Rugilah.
Tapi kalau Jokowi yang ingin me-reshuffle menteri NasDem, maka NasDem pasti siap. Karena itu justru menaikkan elektabilitas Nasdem dan Anies. Posisi terzalimi kerap meraih simpati publik. Bahkan, mungkin itu yang diinginkan NasDem.
(15/10/2022)