Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Negara
Di Barat sana, yang sejak munculnya Sekularisme pasca dark age (era kegelapan) sudah alergi dengan agama, menganggap agama itu urusan privat yang tidak selayaknya diketahui orang apalagi dibicarakan di publik. Ini lahir dari sejarah kelam hubungan agama dengan urusan publik di sana.
Kemudian sebagian muslim yang "terbaratkan" di sini, karena kurangnya wawasan dan/atau inferior (rendah diri) terhadap pemikiran Barat, merasa perlu mengadopsi pandangan sekuler seperti ini. Mereka ikut-ikutan memandang agama itu urusan privat, yang tidak perlu ditampilkan di depan publik, bahkan sebagian ikut-ikutan alergi menggunakan istilah-istilah Islam.
Padahal Barat punya sejarah, umat Islam juga punya sejarahnya sendiri. Barat punya nilai-nilai, Islam juga punya nilai-nilai dan pandangan khasnya sendiri. Namun sejak hegemoni Barat beberapa ratus tahun terakhir, dan masih berlanjut pasca Perang Dunia II melalui hegemoni politik, ekonomi dan kebudayaan, umat Islam -termasuk umat Islam di negeri ini- mengira sejarah Barat itu adalah sejarah kemanusiaan secara universal, menganggap nilai-nilai Barat adalah nilai-nilai universal yang harus dianut semua orang. Ini hasil indoktrinasi halus, yang tidak disadari bahkan oleh orang-orang yang dianggap intelek dan memiliki gelar berderet, atau mereka memang sales-nya.
Kalau umat Islam dan para dai, tidak berusaha mengembalikan umat Islam kepada pemikirannya yang murni, kepada ajaran dan pandangan-pandangannya yang khas, dengan dakwah yang masif, simultan dan berkelanjutan, maka mungkin -wal 'iyadzu billah- sepuluh atau dua puluh tahun lagi akan lahir puluhan juta generasi muslim sekuler (penggabungan dua kata yang kontradiktif), yang malu menampakkan identitas keislamannya. Jangankan bicara agenda keislaman dan keumatan, mengaku sedang puasa Ramadhan pun mereka mungkin malu.
(*)