Sertifikat halal itu gak ada hubungannya dengan fiqh.
"Zaman Nabi gak ada tuh lembaga yang melakukan labelisasi halal?"
Betul zaman Nabi shallallahu'alaihi wasallam bahkan sampai era kekhalifahan Otoman memang gak ada lembaga yang melakukan labelisasi halal.
Zaman Nabi dulu makanan itu jelas halal haramnya, gimana gak jelas, dulu gak ada makanan kemasan, makanan olahan maupun restoran. Orang mau makan beli bahan mentah di pasar yang jelas bentuknya, zaman sekarang kalau anda mau masak sendiri ya gak perlu labelisasi halal, tapi menjadi rancu ketika anda memakan makanan olahan, kemasan maupun restoran dimana anda tidak tahu kandungannya apa.
Labelisasi halal itu bukan sekedar mengetahui kandungan bahan makanan, labelisasi halal itu semacam "audit" pengawasan obat dan makanan.
Zaman sekarang makanan dan obat-obatan itu harus diawasi makanya ada BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan), perusahaan harus menyertakan izin BPOM sebagai syarat memasarkan produk makanan dan obat-obatan di wilayah Indonesia, sekarang ditambah lagi harus ada sertifikat kehalalan produk yang sekarang sudah masuk kedalam UU melalui Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 "Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal".
Bagaimana hukumnya memakan makanan olahan fast food dan kemasan tanpa sertifikat halal?
Saya tidak akan bicara dari sisi Fiqh, masalah sertifikasi halal ini tidak ada hubungannya dengan fiqh, ini masalah perlindungan konsumen.
Sekarang pertanyaan saya, Anda mau tidak makan atau mengkonsumsi obat-obatan yang tidak punya izin BPOM?
Pasti ada keraguan, khawatir ada kandungan yang berbahaya.
Begitu juga dengan makanan dan obat-obatan yang tidak bersertifikat halal, mestinya mindset anda sama seperti mengkonsumsi makanan maupun obat-obatan yang tidak ada izin BPOM.
(Oleh: Kang Irvan Noviandana)