Ustad Naja
Oleh: Yusuf Maulana
Saya bahkan tak pernah mendengar sekali pun namanya, sebelum akhirnya diperkenalkan seorang tim ahli Anis Matta. Saya dimintai mendampingi beliau mengubah disertasinya tentang Koalisi Politik Dalam Perspektif Sunnah. Diskusi digelar secara daring, itulah kali pertama saya bersua dengannya. Sosok yang ternyata dihormati, begitu dihormati malahan.
"Saya masukkan perspektif Syekh Qaradhawi, Syekh Ahmad Raisuni, Syekh Ahmad Bayyah, dan Ghannouchi, ya Syekh?" tanya saya padanya.
Sebabnya, di naskah atau disertasi itu asing dari nama-nama yang justru dekat dengannya. Ternyata ada ceritanya mengapa nama-nama kalangan 'moderat' di luar Arab Saudi tidak masuk.
"Silakan, antum bebas lakukan," ujarnya dari seberang suara.
Ia ingin bukunya itu terbit secepatnya.
"Kalau bisa selagi ayah masih ada," katanya. Ia pengin menghadiahi sang ayah dengan karyanya itu.
Rupanya Allah berkehendak lain. Kamis 8 September 2022, tepat di Hari Aksara Internasional, sehabis zuhur, ia dikabarkan mendadak sakit. Dan sukmanya bersua dengan Sang Pemilik. Sama sekali tak terduga. Setahu saya, sang ayah masih afiat. Ini yang bikin saya setidaknya terkesiap.
"Ini 'utang' kita," kata teman yang menghubungi saya, tentang agenda penerbitan buku yang tertunda sekian purnama. Yang ternyata diganjar begitu memilukan. Targetnya belum terpenuhi: sebuah buku buat sang ayah.
Justru alim itu, Dr. Najamuddin Mara Hamid Lubis, Lc., M.A., yang lebih dulu bersua dengan-Nya. Tampaknya saya seakur dengan teman tadi; ini 'utang' peradaban, atau lebih tepatnya: utang keilmuan yang harus dituntaskan agar khalayak bisa mereguk buah pikirnya semacam hayat.
Semoga Allah memberikan tempat paling memesona pada almarhum Ustad Dr. Naja ini.
(*)