Beberapa kali pernah mengunjungi Bali, menggunakan travel yang sama. Otomatis ditemani guide yang sama. Karena mulai akrab, kadang obrolan lebih intens. Dari ceritanya saya tahu, tidak semua Wisman LN yang datang ke Bali orang kaya di negara asalnya.
Bahkan segmen ini paling banyak, itu sebabnya seluruh segmen masyarakat Bali juga kecipratan rezeki wisata ini. Wisman LN golongan menengah kebawah ini check in di hotel kelas melati ke bawah. Carterannya motor bukan mobil. Makan lesehan seperti kita kebanyakan.
Saya berpikir lebih jauh, kelas menengah kebawah saja bisa liburan ke Luar Negeri. Ke destinasi wisata utama pula, seperti ke Bali ini. Kalau kita, jangankan kelas bawah, kelas menengah saja ada yang seumur-umur kagak pernah ke Luar Negeri.
Wajar sebab jika mereka punya $1000 saja, itu berarti mereka memiliki Rp. 15.000.000. Masih info dari sang guide, kebanyakan Wisman yang datang ke Bali dari Australia. Di negaranya mereka ada yang pelayan Bar, buruh Pabrik, pekerja peternakan dan sejenisnya.
Kalau di Negara kita ya mungkin mereka ini pelayan Cafe, buruh pabrik, pramuniaga Minimarket. Yang sering kita dengar dari mereka ini jika ditanya, pernah berwisata ke LN? Jawaban yang sangat mungkin ialah: "boro-boro ke LN, untuk makan saja Senen - Kemis".
Bukan maksudnya membanding-bandingkan, membeda-bedakan (sebab memang kita suka jengah kalau dibanding-bandingke, seperti lagu di Istana itu). Untuk mudah memahami saja. Mohon maaf ya kalau tersinggung. Sebab masyarakat pahamnya mudah saja, seribu dalam bentuk Dolar bisa untuk ke Luar Negeri. Seribu dalam bentuk Rupiah cuma bisa untuk beli ballpoint paling murah yang sering macet jika diajak nulis agak panjang.
Masyarakat nggak paham apa itu equitas, inflasi, ini dan itu istilah ekonomi yang keren-keren dan gagah-gagah itu. Jangan-jangan semua istilah mentereng itu cuma untuk menutupi kenyataan menyedihkan dari nilai tukar rupiah yang begitu rendah.
Dalam bahasa Arab kata Ruubiah bisa berarti Rupiah, bisa pula berarti Rupee. Silahkan browsing, walaupun disamakan penyebutan oleh orang Arab, tapi beda nasib dalam nilai mata uang. Rupee yang merupakan mata uang India dan negara-negara sekitarnya, selalu lebih unggul nilainya dibandingkan Rupiah. Rupiah kalah nilai dari Rupee Srilanka sekalipun, padahal negara ini baru saja bangkrut. (1 Rupee Srilanka = Rp 41).
Kembali ke topik di atas. Pertanyaanya mengapa di negara-negara sana upah pekerja bisa tinggi? Di tulisan yang lalu, saya infokan: satu jam bekerja dihargai 20 Dolar (setara Rp 300.000), itu berarti setara kerja dua hari di Indonesia. Konon jawabnya, di negara-negara maju upah pekerja dirumuskan dengan berbagai filosofi. Antara lain:
Filosofi Pertama: besarnya upah harus sebanding dengan beban kerja. Makin berat beban kerja, makin tinggi upahnya. Makin tinggi resiko kerja, makin tinggi upahnya. Makin banyak menyita waktu makin besar upahnya.
Maka sekalipun upah mereka tidak pernah lebih tinggi dari pimpinan, tapi jaraknya tidak jauh. Akibatnya kesenjangan ekonomi warga juga tidak terlalu jauh secara rata-rata. Mereka bisa sangat makmur jika lebih rajin, lebih cerdas. Bisa juga lebih melarat jika memang pemalas.
Filosofi Kedua: besarnya upah paralel dengan objek pekerjaan. Sebenarnya ini alamiah saja. Seorang tukang batu tidak pernah bisa mengalahkan upah dokter. Sebab yang dikelola tukang batu adalah batu, sementara yang dikelola Dokter adalah manusia, sebaik-baik makhluk ciptaan Allah SWT.
Sekali lagi mohon maaf ya kalau ada yang tersinggung. Bukan bermaksud mbanding - bandingke, agar mudah memahami saja.
Maka di beberapa negara yang saya dengar, profesi guru itu sangat dimuliakan. Sebab kalau dokter mengelola tubuh manusia, sampai ke kotorannya. Guru mengelola bagian yang paling mulia, otak manusia. Akal, yang membedakan manusia dari binatang.
Kira-kira di negara kita, filosofi yang mana yang digunakan ya? Yang pertama atau kedua? Atau campuran antar keduanya? Atau,... ribet amat sih, nggak usahlah pakai filosofi - filosofian! Terus terang, saya sendiri susah memetakkannya.
Guru disini belum ada sejarahnya bisa mengalahkan dokter dalam hal upah, berarti bukan filosofi kedua yang digunakan. Kelihatannya di negara kita makin kotor (objek) pekerjaan, makin rendah upahnya. Makin berat bebannya, makin panjang waktunya, makin rendah upahnya. Berarti bukan pula filosofi pertama yang dipakai. Makan aja susah, kok mikir yang susah-susah, sudahlah, nrimo saja: mungkin itu filosofinya?
Kesenjangan upah antara atasan dengan bawahan bak sorga dan neraka. Bak langit dan jurang terdalam. Dramatis sekali. Harga produksi anak negeri, utamanya pertanian ditekan sampai level terendah. Impor merajalela.
Siapa bisa mengurai benang kusut ini?
Mungkinkah, lelaki di foto atas postingan ini? atau foto yang bawah? 😀
(Oleh: Kurniawan, DPD Gelora Kota Payakumbuh)