Tuan Besar Penebar Fulus
PERSAMUHAN perdana antara Lukas Enembe dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berlangsung di Istana Negara pada Juli 2006. Kala itu, Lukas baru saja kalah dalam pemilihan Gubernur Papua. SBY meminta Lukas legawa. Sebagai penghibur hati, SBY meminta Lukas memimpin Partai Demokrat di Papua.
Lukas menyanggupi permintaan SBY. Ia bergabung sebagai kader partai. Forum Musyawarah Daerah pada 2007 memilih Lukas secara aklamasi sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat Papua menggantikan Budi Baldus Waromi. “Dia diminta Pak SBY membesarkan Demokrat dan menyiapkan diri dalam pertarungan periode berikutnya,” ujar juru bicara Lukas Enembe, Muhammad Rifai Darus, pada Jumat, 23 September lalu.
Hingga kini, Lukas sudah memimpin partai berlambang mirip Mercy itu di Bumi Cenderawasih selama empat periode. Perolehan suara Demokrat terdongkrak. Pada Pemilihan Umum 2009, Demokrat meloloskan tiga kader—dari 10 alokasi kursi untuk Papua—ke Dewan Perwakilan Rakyat. Di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mereka merebut sembilan kursi. Perolehan suara Demokrat di DPRD Papua makin melejit pada 2014 dengan 14 kursi partai.
Lukas terpilih menjadi Gubernur Papua pada 2013. Ketika itu, pria berusia 55 tahun ini berpasangan dengan Klemen Tinal. Mereka menang mutlak dari lima kandidat lain. Keduanya mengantongi 1,2 juta suara atau 52 persen dari total suara. Ia kembali terpilih sebagai gubernur pada 2018 dengan pasangan yang sama. “Perolehan suaranya naik menjadi 67 persen,” kata Rifai Darus.
Juru bicara Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, menjelaskan, SBY mendukung penuh karier politik Lukas Enembe. Tapi peningkatan perolehan suara Demokrat bukan karena pengaruh Lukas. “Pada 2009, suara Demokrat di banyak wilayah meningkat tajam. Salah satu faktornya adalah figur SBY yang dianggap berhasil mengemban mandat sebagai presiden di periode awal kepemimpinan,” ucapnya.
Abdul Munif, mantan anggota tim sukses Lukas, mengatakan alasan SBY mendukung Lukas adalah kalkulasi politik hasil pertarungan pemilihan gubernur pada 2006. Meski kalah dari Barnabas Suebu, selisih perolehan suara keduanya hanya 23 ribu. Lukas yang berpasangan dengan Arobi Achmad Aituarau ketika itu menempati posisi kedua dengan perolehan suara 333,6 ribu. “Dia ini kader potensial,” ujarnya.
Lagi pula Lukas bukan pemain baru dalam kancah politik lokal. Ia pernah menduduki kursi Wakil Bupati Kabupaten Puncak Jaya pada 2005. Setahun setelah kekalahannya oleh Barnabas, ia memenangi pemilihan Bupati Puncak Jaya pada 2007. “Modal politik inilah yang ikut membesarkan namanya ketika memenangi pemilihan Gubernur Papua pada 2013,” kata Munif.
Bagi masyarakat Papua, menurut Munif, keterpilihan Lukas dianggap mendobrak pakem suksesi kepemimpinan yang selalu diisi tokoh dari wilayah pesisir, seperti Jayapura dan sekitarnya. Lukas adalah orang pegunungan pertama yang terpilih sebagai gubernur di Papua. Ayahnya seorang penginjil yang berasal dari suku Lani, suku terbesar di Papua. Dalam struktur demografi masyarakat Papua, langgam bahasa Lani banyak digunakan suku lain di Papua.
Lukas merintis karier sejak bergabung sebagai pegawai negeri sipil di Kabupaten Merauke pada akhir 1990-an, tak lama setelah menyelesaikan studi sarjana di Universitas Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara. Pria kelahiran Mamit, Kabupaten Tolikara, 27 Juli 1967, itu adalah anggota staf Badan Kesatuan Bangsa dan Politik. Kariernya sempat vakum ketika menjalani studi di The Christian Leadership and Second Linguistic di Cornerstone College, Australia.
Masyarakat Papua kerap memanggil Lukas dengan sebutan “Big Man”. Istilah ini, Munif menjelaskan, digunakan untuk menyebut seseorang yang memiliki kendali besar dalam menyelesaikan banyak urusan. Lukas tak hanya memimpin birokrasi pemerintahan, tapi juga urusan perselisihan antarsuku, bahkan urusan yang sangat personal. “Politik di Papua sangat boros. Tak hanya saat pemilihan kepala daerah, saat menjadi penguasa pun mereka harus meladeni permintaan bantuan,” katanya.
Nyaris saban hari pagar rumah Lukas dipenuhi warga Papua yang tengah mengalami kesulitan finansial. Sebagian di antara mereka meminta bantuan dana untuk melunasi uang sekolah, membayar biaya perawatan keluarga yang tengah sakit dan meninggal, atau membayar maskawin. Mereka rela tidur berhari-hari hingga mendapat respons. “Tak semua permintaan itu dikabulkan. Tapi banyak yang dibantu,” ujar Munif.
Munif mengklaim Lukas menerima pemasukan dari tambang emas yang dikelola oleh rakyat di wilayah Kembus, Yahukimo, dan Nabire. “Karena harus meladeni permintaan bantuan, tradisi itulah yang membuat seorang pemimpin di Papua menyimpan uang dalam jumlah banyak di dalam rumah.”
Karier politik Lukas kini berada di ujung tanduk. KPK menetapkan Lukas sebagai tersangka penerima suap Rp 1 miliar dari seorang pengusaha. Kasus ini turut mengungkap sumber kekayaan Lukas. Ia ditengarai memiliki rekening janggal yang menampung uang suap dan rasuah senilai Rp 71 miliar.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengaku bakal mencabut permohonan blokir rekening Lukas jika uang sitaan itu bukan hasil korupsi. “Kalau di kemudian hari Pak Lukas bisa membuktikan uang itu dari tambang emas, misalnya, pasti kami hentikan,” ujarnya
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bahkan menyebutkan Lukas menghabiskan setidaknya Rp 600 miliar di meja judi Singapura sepanjang 2016-2019. Temuan ini menjadikan profil Lukas tak sepadan dengan laporan harta kekayaan yang ia laporkan pada 31 Maret 2022. Dalam laporan itu disebutkan Lukas memiliki kekayaan Rp 33,7 miliar.
Ini bukan kali pertama Lukas berhubungan dengan KPK. Pada Februari 2019, ia pernah dikabarkan hendak memberi suap kepada seorang pejabat pemerintah pusat di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat. Operasi klandestin KPK gagal lantaran identitas personelnya terungkap.
Orang dekat Lukas yang minta identitasnya dirahasiakan mengatakan berbagai kasus hukum ditujukan kepada sang Tuan Besar karena Lukas kerap bergesekan dengan para pembesar di Jakarta. Lukas dianggap kerap menyulitkan kebijakan pemerintah pusat ihwal rencana pemekaran daerah otonomi baru dan menolak rekomendasi penempatan sejumlah kepala daerah. Ia juga dianggap terlalu dekat dengan kelompok pro-kemerdekaan Papua.
Mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, menilai perlawanan Lukas Enembe terhadap pemerintah pusat punya jejak panjang. Meski mendukung Presiden Joko Widodo pada Pemilu 2019, Lukas sering menolak keinginan pemerintah ihwal rencana pembangunan smelter Freeport di luar Papua, pemekaran wilayah otonomi baru, hingga penambahan personel militer. “Dia antitesis kebijakan pusat,” tuturnya.
[Sumber: Majalah TEMPO]