Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H. (Advokat, Tim Advokasi Peristiwa KM 50)
Hari Kamis (22/9/2022), penulis berkesempatan berkunjung ke studio Realita TV di Daerah Meruya. Jam 10.00 WIB kami janjian untuk diskusi soal KM 50.
Saat terjebak macet di tol dalam kota penulis sempat memberikan info agak terlambat. Namun, ternyata lepas dari Senayan jalan lancar dan alhamdulillah sampai di studio pukul 10.00 WIB (lewat sedikit).
Sebelum ke studio utama, penulis diperlihatkan sejumlah ruang yang dulu menjadi pusat studio program TV. Bahkan, program infotainment (baca : gosip) 'Cek dan Ricek' juga diproduksi di salah satu ruang studio ini.
Bertemu dengan Mbak Rahma, yang sudah menunggu di studio utama. Dan kemudian, kami berdiskusi untuk menyamakan persepsi sebelum masuk diskusi utamanya.
Diawali dengan pertanyaan seputar nama, hingga apa yang menjadi atensi saat berkunjung ke Mabes Polri saat menyerahkan novum pada Selasa lalu (20/9/2022). Tidak berselang lama, acarapun dimulai.
Acara memang tidak didesain live. Penulis berada di ruang studio yang didominasi warna dindingnya dengan warna hijau. Soal 'Green Screen' ini, orang media pasti tahu tujuan dan kegunaannya.
Seperti biasa, penulis diminta untuk menjelaskan kenapa bertandang ke Mabes Polri. Lalu, apa yang menjadi harapan setelah bertandang ke Mabes.
Penulis jelaskan bahwa kedatangan kami ke Mabes Polri tidak lepas dari menindaklanjuti pernyataan Kapolri Bapak Jenderal (pol) Listyo Sigit Prabowo yang beberapa waktu lalu menyatakan akan memproses kasus KM 50 jika ditemukan novum. Hal itu, diungkapkan Kapolri saat ditanya oleh anggota Komisi III DPR RI (24/8).
Prinsipnya, penulis ingin membantu Kapolri untuk mengusut tuntas kasus KM 50 dengan menyerahkan novum kepada Kapolri. Dalam kunjungan ke Kapolri, ada tiga agenda utama yang kami lakukan:
Pertama, kami menyerahkan novum berupa buku putih yang diterbitkan TP3. Didalamnya memuat banyak fakta hukum, bukti, keterangan saksi yang belum pernah diperiksa dalam penyidikan maupun pengadilan.
Bahkan, buku tersebut menyimpulkan adanya kejahatan HAM berat dan direkomendasikan untuk diadili dalam pengadilan HAM berdasarkan UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
Ada 4 lembaga yang dituntut untuk menindaklanjuti temuan. yaitu : Komnas HAM, DPR RI, LPSK dan Komnas perlindungan anak. Semua tuntutan pada pokoknya dalam kerangka untuk membawa peristiwa KM 50 agar diselidiki dan diadili dalam pengadilan HAM, berdasarkan pasal 33 ayat (1) jo pasal 89 ayat (3) UU No 39/1999 tentang HAM dan Pasal 18 UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kedua, kami meminta agar dilakukan audit Satgasus Merah Putih karena ada dugaan kuat Satgasus Merah Putih terlibat dalam peristiwa KM 50. Bukan hanya untuk kepentingan KM 50, kami meminta audit Satgasus baik audit kinerja maupun keuangan, dalam rangka untuk menjamin akuntabilitas dan tranparansi kinerja Polri.
Ketiga, kami meminta waktu Kapolri untuk beraudiensi untuk menjelaskan lebih detail soal temuan novum dan permintaan audit Satgasus. Mengingat, kami punya kepentingan untuk membantu Kapolri agar kasus tersebut menjadi terang benderang, diproses secara hukum dengan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sehingga terpenuhi rasa keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat serta mengembalikan citra Polri setelah terjun bebas karena ulah Ferdy Sambo.
Sebagai Jurnalis yang juga berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum, Mbak Rahma juga mempersoalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan dua terdakwa. Disusul putusan Kasasi MA yang juga menolak permohonan Kasasi yang diajukan Jaksa.
Terlebih lagi, Mbak Rahma juga mengungkit temuan jurnalis tempo yang ditayangkan dalam video dokumenter soal KM 50, dimana ada kesaksian saksi yang bersumpah bahwa 6 pengawal HRS saat di rest area KM 50 masih hidup, dua sudah dilumpuhkan sementara yang empat masih sehat.
Lalu, darimana ada cerita terjadi tembak menembak antara aparat dengan 6 pengawal HRS? Cerita itulah, yang diragukan masyarakat sama seperti masyarakat meragukan cerita Ferdy Sambo soal tembak menembak di Duren Tiga yang menewaskan Beigadir Josua.
Prinsipnya, penulis dan sejumlah advokat mendatangi Mabes karena tidak percaya pada persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Karena kasusnya adalah pelanggaran HAM berat, sebab ada penghilangan paksa, penyiksaan dan penghilangan nyawa diluar proses hukum (ekstra judicial killing).
Kenapa kami ke Kapolri? karena Kapolri yang menjanjikan akan memproses ulang jika ada novum. Lagipula, Kapolri bisa berkoordinasi dengan Komnas HAM agar menjalankan fungsinya, yakni melakukan penyelidikan terhadap adanya dugaan pelanggaran HAM berat.
Kami juga berharap Kapolri membentuk Timsus dan Itsus pada kasus KM 50 seperti kasus Brigadir Josua. Agar, dugaan Obstruction Of Justice dan Pelanggaran kode etik dan disiplin Polri juga ditegakkan.
Dalam kasus Brigadir Josua, satu nyawa melayang ada 93 anggota Polri diperiksa, sejumlah jenderal dan perwira tinggi dipecat. Dalam kasus penghilangan 6 nyawa pengawal HRS, kenapa tak ada satupun anggota Polri yang dipecat?
(*)