Mendorong "gaya Pertalite" di Subsidi Listrik
By Yanuar Rizky
1. Per ketentuan UU, yang masuk kategori barang BBM subsidi adalah Solar dan Premium.
2. Dalam sejarah reformasi subsidi BBM, Pertamina mengenalkan produk non Subsidi beroktan rendah (Ron 90) yang diberi merek Pertalite, dibawah Pertamax (Ron 92), di atas Premium (Ron 88).
3. Dalam perjalanannya, saat Premium mulai ditarik dari SPBU, dengan momentum harga minyak dunia sedang rendah, sehingga selisih harga Premium dan Pertalite di Rp1000 (Premium Rp6450 dan Pertalite Rp7650). Itulah kemudian, Premium dihapuskan (hilang di SPBU).
4. Dengan pola seperti itu, maka di konsumen akhir (hilir) BBM subsidi hanya ada di Bio Solar.
5. Problemnya, Pertalite meski BBM non Subsidi, tapi tarifnya ditentukan pemerintah. DIMANA, jika pemerintah menetapkan tarif yang menyebabkan operator pelaksana (Pertamina -red) rugi, maka akan diberikan "kompensasi" akibat penugasan pemerintah.
6. Perubahan pola, terhadap barang Subsidi juga terjadi di Konsumen hilir listrik (rumah tangga).
7. Awalnya, penerima subsidi listrik adalah rumah tangga dengan daya 900VA yang teecatat di daftar masyarakat miskin (rentan sosial) dan seluruh rumah tangga dengan daya 450VA.
8. PLN sebelum ketentuan pembatasan kelompok tertentu di 900VA ditererapkan dan pelepasan subsidi di 1200-2200VA, mengadakan program naik Daya Gratis.
9. Banyak, yang terjebak off side naik daya ke 1200VA, lalu kena aturan tak dapat subsidi. MITIGASI pemerintah, sama dengan pertalite mengatur tarif, dan memberi "kompensasi" jika operator (PLN) rugi,
10. Setelah itu, per 2021, subsidi hanya berlaku bagi konsumen rumah tangga 450VA.
11 Dipicu pernyataan ketua Badan Anggaran DPR bahwa pelanggan 450VA didorong ke 900VA, gratis naik daya, agar listriknya cukup dalihnya.
12. Testing the water ini, saat strategi off-side dirasakan di pertalite, melahirkan banyak kritik. Dan, Menteri ESDM mengatakan saat ini tidak tepat, sensitif.
13. Dan, sebagai catatan cara berpikir ala pertalite ini juga sedang berkecamuk di subsidi pupuk, dengan narasi digeser ke transfer tunai.
Jadi, poinnya, dari era ke era setelah Reformasi, yang diusung itu adalah konsep Fiskal APBN tanpa Subsidi.
Populisme (mendukung subsidi untuk rakyat -red) hanya saat mereka kampanye, dan saat tak berkuasa. Tapi, begitu berkuasa cara pikir sama, yaitu butir Letter of Intent (LOI) IMF tahun 1998 tentang reformasi fiskal dan moneter Indonesia.
Tak ada keberanian, memimpin keluar dari zona nyaman LOI-IMF. Seolah, kita ini merdeka, tapi tersandera.
Pemimpin out of the box hanya ada saat kampanye?
Dan, soal menjadi negara modern sebatas menjadi kaum moneteris di pemerintahan?
Bukankah, Reformasi Tiongkok menjadi negara yang melawan keseimbangan kekuatan moneteris di dunia saat ini, dimulai dengan Reformasi Struktural paska Tragedi Tianamen 1989?
Kalau kita belajar ke Tiongkok, itu dimulai Reforma Agraria sebagai basis memperbaiki kemiskinan struktural, dilanjutkan penguasaan teknologi proses untuk manufaktur sebagai basis daya beli dari upah setara.
Kita tak memulai reformasi struktural, mau loncat jadi negara moneteris tanpa Nilai Tukar Petani dan Manufaktur Index yang ajeg?
Kita menganggap kebijakan reformasi struktural dengan glorifikasi kerja di Ojol?
Aaah entahlah, yang pasti ini Masalah Mendasar kita.
Dan, maaf bagi saya, jauh lebih prioritas berpikir pemetaan lahan untuk reforma agraria, dibanding glorifikasi IKN.
(fb)