The Lavender Rhino, Simbol LGBTQ+ yang Menjadi Maskot?
Oleh: Yusuf Al-Amien*
Hari ini (Ahad, 18/9/2022) FIFA bersama PSSI resmi meluncurkan maskot untuk Piala Dunia U-20 2023 di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Maskot tersebut dinamai “Bacuya”, yang merupakan akronim dari “Badak Cula Cahaya”. Seperti diketahui, Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 yang akan berlangsung pada tanggal 20 Mei hingga 11 Juni tahun depan. Bacuya pun dipilih sebagai ikon untuk mewakili ajang olahraga bergengsi tersebut.
Tetapi pertama kali melihat maskot ini, saya langsung terperangah kaget sekaligus bertanya-tanya karena ada hal yang menurut saya janggal:
- Pertama, cula badak itu, mengapa warnanya begitu? Mengapa warnanya seperti pelangi?
- Lalu kenapa harus badak? Kenapa tidak komodo atau orangutan? Baiklah, badak juga termasuk satwa endemik di Indonesia, jadi sah-sah saja menjadikan badak sebagai maskot, tetapi kenapa warnanya ungu?
Saya pun mencoba mencari jawaban atas keganjalan di atas, lalu saya mendapatkan informasi baru bagi saya, sekaligus informasi yang membuat saya geleng-geleng kepala.
Pertama, tentang cula badak itu, mengapa warna-warni seperti pelangi? Cula badak punya warna pelangi, apa nilai filosofisnya?
Tentu saja pelangi adalah simbol cahaya, karena dia merekflesikan 7 warna polikromatik, yaitu cahaya putih yang terdiri atas tujuh spektrum warna: merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Namun dalam kancah sosial, simbol pelangi telah dibajak dan disabotase oleh kaum “jeruk makan jeruk”, bendera pelangi telah menjadi simbol dan bahasa pemersatu yang menaungi kaum L987Q+ di mana pun mereka berada.
Apakah saya mengada-ada? Apakah pembacaan ini berlebihan?
Ntar, mari kita lihat lagi dengan seksama, coba perhatikan lagi cula maskot ini, ternyata warnanya tidak sampai tujuh! Bukankah pelangi terdiri dari tujuh warna? Berarti ini bukan warna pelangi, dong!?
Ya, benar! Jika diperhatikan secara seksama, cula tersebut ternyata memiliki warna pink, biru cerah (atau hijau tosca cerah), dan blur putih. Dan ternyata, tiga warna ini merupakan warna dalam “Transgender Flag”, alias bendera kaum Trasgender! [1]
Dan ternyata, kaum LGBTQ+ dengan segala aliran dan orientasi mereka, memiliki banyak simbol dan bendera sebagai wujud eksistensi mereka. [2]
Apakah ini kebetulan? Ntar, jangan terburu-buru..
Sekarang kita kembali ke “badak”-nya, mengapa yang dipilih badak? Bukankah badak ada di banyak negara? Mengapa tidak komodo atau orangutan yang lebih menjurus dan “Indo-banget”?
Sekali lagi saya katakan, tidak salah menjadikan badak Jawa sebagai maskot, karena badak sendiri sudah pernah dijadikan sebagai maskot untuk Asian Games 2018 dengan karakter bernama “Kaka”. [3] Hanya saja yang menjadi pertanyaan, kenapa warnanya ungu? Kenapa warnanya tidak abu-abu seperti biasanya?
Di mana-mana—setahu saya—yang namanya badak itu umumnya berwarna abu-abu, mau badak Jawa, badak Sumatera, Bacusa Ujung Kulon, badak “Kaka” maskot Asian Games 2018, badak maskot Kementerian BUMN, badak “BaGer” GERMAS, sampai badak “Rocksteady” dalam Kura-Kura Ninja dan badak “The Rhino” dalam Spider-Man pun semuanya warnanya abu-abu. (Ya, kecuali badak dalam larutan penyegar cap kaki tiga, sih. Memang warnanya coklat. Hehe).
Tapi kalo badak ungu? Saya baru pertama kali mendengarnya. Apakah ini badak dari Planet Titan kampung halamannya Thanos si paling ungu? Ataukah ini badaknya Lord Beerus sehingga warnanya juga ikutan ungu? Bahkan, di dunia fiksi sekali pun badak berwarna ungu sudah ditemukan!
Ke-kepo-an ini menuntun saya untuk berselancar di Google hingga saya menemukan badak berwarna ungu yang disebut dengan “The Lavender Rhino” alias badak berwarna ungu lavender! Namun yang mengagetkan, ternyata badak ini adalah simbol kaum gay!
“The Lavender Rhino” adalah simbol yang dicetuskan oleh Daniel Thaxton dan Bernie Toale untuk kampanye iklan publik guna meningkatkan visibilitas kaum gay di Boston AS pada tahun 70an. Mereka memilih badak karena “Itu adalah hewan yang banyak difitnah dan disalahpahami” dan ungu lavender itu adalah campuran merah muda dan biru, menjadikannya penggabungan simbolis dari feminin dan maskulin. [4]
Jadi, apakah pemilihan maskot “Bacuya” yang merefleksikan karakter badak berwarna ungu dengan cula warna-warni itu tidak ada kaitannya dengan gerakan kaum pelangi? Silahkan tanya FIFA dan PSSI! Walaupun bisa dipastikan bahwa mereka punya alasan yang dibungkus dengan retorika filosofis penuh argumen meyakinkan bahwa semuanya itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan LGBTQ+. Itu hak mereka, dan hak masyarakat adalah melihat dan menilai.
Sama persis dengan stadion JIS yang pernah dinilai oleh PSSI sebagai stadion yang tidak layak dijadikan tempat untuk menggelar pertandingan FIFA matchday, lalu mereka menyuguhkan seabrek alasan yang terkesan ilmiah, itu semua hak mereka. Tapi netizen juga punya mata, telinga, akal dan mulut, sehingga mereka juga berhak memiliki pandangan anti-mainstream terkait mengapa JIS yang sedemikian Wow-nya itu tidak direkomendasikan oleh PSSI untuk ajang FIFA matchday.
Masalah Bacuya ini juga sama. Netizen berhak menilai dan mengomentari. Jika ternyata ada maksud terselubung dengan adanya upaya penyusupan simbol-simbol kaum pelangi ke dalam ranah olahraga—sebagaimana telah terjadi di beberapa klub-klub bola dunia dalam jersey mereka melalui pesan-pesan subliminal—entah siapa pun mereka yang melakukan itu, maka ini adalah tindakan yang sangat mencederai keyakinan warga Indonesia yang berpegangan kepada Ketuhanan Yang Mah Esa yang secara tegas menolak kampanye kaum pelangi.
Maka warga Indonesia berhak menyuarakan, menolak dan menghindari segala perkara yang “menyerempet” ke arah normalisasi dengan kaum LGBTQ+. Dan alasan toleransi serta keberagaman tidak bisa dijadikan kedok untuk membenarkan tindakan penyimpangan, karena toleransi dan keragaman yang benar adalah dengan menangani penyimpangan tersebut dan menyembuhkannya serta mencegahnya agar tidak menular ke yang lain.
Wal akhir, disadari atau tidak, beberapa tahun terakhir ini telah tercium gerakan global yang begitu massif dan sat-set dalam memasarkan LGBTQ+ melalui berbagai sarana, seperti di kancah hiburan dan olahraga. Umat manusia harus melek kalo tidak ingin eksistensi mereka di masa depan terancam punah. Memahami dan mengerti bahasa mereka yang tertuang dalam bentuk simbol dan bendera adalah langkah awal mencegat virus ini agar tidak semakin mewabah, karena pepatah mengatakan: “Siapa yang memahami bahasa sebuah kaum, ia akan selamat dari makar mereka”.
Wallahu A’lam.
*Referensi:
[1] Bendera Transgender
[2] Simbol-simbol L987Q+ dan 32 bendera kaum pelangi
[3] Badak “Kaka” Maskot Asian Games 2018
[4] The Lavender Rhino
*fb penulis