Smith Alhadar - Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
Di suatu negeri yang rakyatnya selalu ditipu, muncul pemimpin berpenampilan sederhana. Namanya Coro. Kemejanya selalu putih lengan panjang yang digulung, yang mengesankan seorang guru arif bijaksana. Wajah dan pikirannya betul-betul menyerupai rakyat.
Ia pun berjanji akan membabat korupsi hingga ke akar-akarnya dan menyejahterakan seluruh rakyat. Maka rakyat dari mana-mana bergegas menyatakan sumpah setia kepadanya. Juga para intelektual dan akademisi. “Baru kali ini langit mengutus kepada kita pemimpin dari kalangan kita sendiri, yang akan membebaskan kita dari penindasan yang kita warisi dari nenek moyang sejak dulu kala,” kata mereka optimis, “inilah saatnya kita bangkit”.
Coro kemudian berkeliling hingga daerah terjauh, menggendong anak-anak desa yang dekil, masuk ke dalam gorong-gorong, dan menolak berkumpul dengan elite dunia karena bicara dengan mereka membuat ia ngantuk. Sering juga ia membagi-bagi sembako dan sejumlah kartu sakti kepada rakyat yang belum pernah senang seumur hidup mereka.
“Jangan-jangan dia nabi baru,” mereka menduga-duga. Toh, umumnya Nabi diutus dari kalangan rakyat. Dugaan itu berubah menjadi keyakinan ketika Coro membangun banyak jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandara. “Bukan main!” Coro pun sering berpura-pura terkejut manakala para pembantunya mengeluarkan kebijakan yang mengecewakan rakyat. Keterkejutan Coro penting untuk mengesankan dia tak mendukung kebijakan itu. Dia tetap dari rakyat untuk rakyat. Ketika ada yang mempertanyakan perangai dan kebijakannya, segera saja buzzerRp mem-bully-nya.
Bagaimanapun, tak semua orang terhipnotis oleh kesederhanaannya, yang membuat Coro terganggu. Para cerdik pandai yang masih waras tak percaya pada keseluruhan dirinya. Setelah mengamati perangai, kebijakan, dan motif-motifnya, mereka berkata, “Awas, kita sedang berhadapan dengan bunglon. Dia bukan orang sederhana dalam ambisi. Tak lain dan tak bukan dia seorang yang bebal, penuh tipu muslihat, ambisius, ngawur. Dan jahat.”
Bahkan, Coro dipandang membahaykan negara karena melayani kepentingan oligarki. Lihat, ia menghidupan KKN, lembaga anti-rasuah dilemahkan, anak dan menantunya diberi kekuasaan atas nama demokrasi. Dan ia tak henti-hentinya mencari jalan agar berkuasa lebih lama. Tiga periode. Juga atas nama demokrasi. Tapi pandangan kritis ini disambut pendukungnya dengan nyinyir.
Sebaliknya, Coro mulai ketakutan. “Kalau rakyat tahu siapa aku sebenarnya bisa berabe”. Maka dimulailah episode penangkapan orang-orang yang kritis, bahkan ada yang dibunuh. Ormas yang lancang dibubarkan. Stigma dibuat untuk mengintimidasi mereka.
Dan bukan main senangnya Coro ketika menyaksikan pendukungnya tetap militan. Padahal, ia sendiri heran. Kok bisa-bisanya mereka menari di atas gendang yang ditabuhnya. Terutama para intelektual dan akademisi. “Ternyata para cendekia pun mudah dibodohi,” katanya dalam hati.
Dukungan rakyat yang sangat kuat ini, tanpa mereka sadari, mendorong Coro melangkah lebih jauh. Dikeluarkanlah berbagai UU yang kontroversial hasil perselingkuhannya dengan oligarki politik dan ekonomi. UU yang merugikan buruh, rakyat, lingkungan, dan membahayakan negara.
Untuk semua ini memang sempat muncul berbagai demonstrasi, besar maupun kecil, tapi tak berkelanjutan karena Coro masih menikmati dukungan rakyat.
Lalu, tak disangka-sangka, pandemi covid-19 merebak yang berdampak luar biasa pada situasi ekonomi dan politik semua negara. Beberapa pemimpin dipaksa kehilangan kekuasaan karena gagal menangani penyakit itu.
Tapi, di negeri ini, wabah itu justru dilihat Coro — setelah mendapat masukan dari elite yang menjadi brain-nya — sebagai blessing in disguise. Terbuka kesempatan untuk mendegradasi demokrasi, kebebasan, HAM, mempermainkan hukum, dan melanggar konstitusi. Juga menjustifikasi penambahan utang yang dipakai untuk membiayai infrastruktur secara ugalan-ugalan.
Kecuali kekecewaan mereka yang sudah sejak awal meragukan kualitas Coro, dukungan rakyat padanya tetap saja kuat. Berbagai bansos dipandang rakyat sebagai wujud cinta kasih Coro kepada mereka. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa bansos itu diperoleh dari duit mereka sendiri, bukan dari kantong Coro, dan bahwa itu sudah menjadi kewajiban konstitusional pemimpin untuk mengayomi mereka.
Ketika minyak goreng hilang dari pasaran atau, kalau ada, harganya selangit — yang membuat mak-mak mengalami mimpi buruk — Coro tampil berlagak pahlawan dengan memarahi pembantunya, diikuti beleid yang ngawur: melarang ekspor komoditas itu demi membanjirinya ke pasar domestik dengan harga terjangkau. Bukannya saja target itu tak berhasil, tapi juga memukul secara telak petani sawit. Rakyat kecil tetap berjibaku selama berbulan-bulan untuk mendapatkan minyak goreng. Coro menyalahkan mafia. Tapi mafia itu adalah pembantunya sendiri yang bekerja sama dengan oligarki. Rakyat mulai sedikit kritis. “Apakah benar Cokro seorang nabi?”
Perang Ukraina memunculkan tantangan baru: harga energi dan pangan dunia melejit tinggi. Inflasi di mana-mana. Rantai padok dunia terganggu. Bunga bank negara-negara besar dinaikkan untuk memerangi inflasi, yang menyebabkan cash flow dari negara-negara miskin dan berkembang. Perang ini belum akan selesai dalam waktu dekat sehingga dunia terancam resesi.
Kalau demikian, negeri pimpinan Cokro akan juga terpukul. Bahkan, dampaknya sudah muncul, terlihat dari meningkatnya harga kebutuhan pokok. Hal ini diperparah oleh beleid Coro menaikkan harga BBM ketika di pasar global harganya sudah turun di tengah melemahnya daya beli masyarakat.
Dengan berpura-pura sedih Coro mengatakan APBN tak sanggung menahan beratnya subsidi yang lebih banyak dinikmati mereka yang berpunya. Bagaimanapun, para tokoh bijak menganggap tak sepatutnya Coro menaikkan harga BBM pada saat ini, yang meningkatkan biaya semua barang dan jasa sehingga memperdalam dan memperluas kemiskinan. Juga pengangguran.
Maka, rakyat yang bertanya “Apakah benar Coro seorang nabi?” bertambah banyak. Pasalnya, menurut para ekonom kritis yang sungguh-sungguh mencintai rakyat, Coro punya cara lain untuk menambal defisit APBN dengan menghentikan pembangunan IKN yang tidak urgen, sungguh-sungguh memerangi korupsi, melakukan renegosiasi bunga utang yang mengkhawatirkan, dan menghemat pengeluaran yang tidak perlu.
Lagi pula, menurut para ekonom itu, dalih Coro bahwa subsidi BBM mencapai Rp 500 triliun adalah bohong belaka. Memang gemar berbohong sudah jadi karakter Coro. Situasi ekonomi yang melilit leher rakyat ini telah mendorong berbagai elemen bangsa turun ke jalan. Mungkin sekali di antara mereka terdapat orang-orang yang sudah siuman dari pembiusan Coro.
Kendati demikian, Coro tetap menyibukkan diri dalam politik elektoral di mana ia ingin menjadi penentu siapa yang akan menjadi penggantinya. Maka, ia mengeluarkan jurus jahat. Relawan-relawan pendukungnya ia datangi di mana pun mereka berada meskipun konstitusi tak membolehkan dia mencalonkan diri untuk ketiga kalinya. Kepada mereka ia mengeluarkan perintah untuk bersabar dalam menentukan calon penggantinya sampai ia mengeluarkan instruksi untuk itu.
Sangat jarang di negara demokrasi modern yang mengharuskan pemainnya taat etika dan norma seorang out going leader secara terbuka aktif mengotak-atik agenda partai politik yang bukan partainya. Terutama mengarahkan parpol yang para ketuanya adalah orang-orang bermasalah alias pasien rawat jalan. Artinya, Coro memanfaatkan kebobrokan mereka untuk tujuan-tujuan pribadi sebagaimana diajarkan mentornya.
Kepada mereka ia mengeluarkan perintah disertai ancaman untuk tidak mencapreskan seorang pemimpin daerah yang punya reputasi gemilang dan berpotensi memenangkan pemilihan presiden. Namanya Aziez. Tokoh ini dulu berjasa besar dalam membawa Coro ke tampuk kekuasaan. Kini ia dipandang sebagai musuh hanya karena ia terlalu independen, terlalu pandai, terlalu bersih, dan tak akan tunduk pada kemauan oligarki. Lihat, dia menghentikan proyek oligarki di daerahnya bernilai ratusan triliun karena proyek itu didapat dengan cara yang tidak semestinya, merugikan nelayan kecil, dan merusak lingkungan.
Aziez juga punya visi-misi sendiri untuk memajukan negerinya, bukan visi-misi Coro. Dengan kata lain, ia tak akan melanjutkan kebijakan dan proyek pembangunan Coro kalau hal itu tidak urgen dan membebani keuangan negara.
Dus, Coro khawatir proyek oligarki IKN tak dilanjutkan. Dan bisa saja, karier politik, anak, nenantu, dan iparnya terhenti. Coro juga khawatir modal usaha anak-anaknya yang diduga didapat dari oligarki yang bermasalah akan dipermasalahkan.
Maka, kuat dugaan ia menginstruksikan kepada lembaga anti-rasuah untuk segera menjadikan Aziez tersangka korupsi terkait hajat balap mobil listrik Formula-E. Tujuannya: menjegal Aziez nyapres. Namun, aksi vulgar yang berbau moral hazard ini, yang berakumulasi dengan tekanan ekonomi rakyat, serentak membangunkan pendukungnya juga.
Sebagian bukan simpatisan Aziez, tapi mereka tak bisa menerima kezaliman Coro atas tokoh hebat yang santun itu. Hajat Formula-E itu sukses besar, dipuji para pembalap, sponsor, dan komunitas internasional. Lebih daripada itu, lembaga-lembaga resmi yang punya wewenang terkait itu menyokongnya. Dan sama sekali tak ada korupsi di dalamnya.
“Oh, ternyata Coro bukan pemimpin sederhana. Ia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan,” kata mereka, “ia lebih mendahulukan kepentingan pribadi, keluarga, dan oligarki ketimbang kemajuan negeri dan kesejahterakan kita. Ayo, lawan!”[suaranasional]