KERUSUHAN pecah di berbagai kota di Iran sebagai protes atas kematian Mahsa Amini saat ditahan polisi syariah karena diduga memakai hijab secara tidak benar. Di beberapa tempat bentrokan terjadi antara polisi dan demonstran.
Iran Human Rights, organisasi hak asasi manusia berbasis di Oslo, menyatakan sedikitnya 50 orang meninggal dalam kerusuhan itu hingga Jumat, 23 September lalu. Jumlah korban meningkat setelah enam orang tewas ditembak polisi di Kota Rezvanshahr.
Mahsa Amini meninggal pada Jumat, 16 September lalu. Demonstran menuduh perempuan Kurdi 22 tahun itu tewas karena disiksa, tapi polisi mengklaim Amini meninggal karena serangan jantung. Rekaman kamera keamanan yang dirilis kantor berita pemerintah IRNA menunjukkan bahwa Amini tiba-tiba jatuh ketika sedang berbincang dengan seorang polisi perempuan.
Presiden Iran Ebrahim Raisi menelepon keluarga Amini untuk menyampaikan belasungkawa. “Saya mengetahui kejadian ini selama perjalanan saya ke Uzbekistan dan saya segera memerintahkan rekan-rekan saya untuk menyelidiki masalah ini secara khusus,” katanya, seperti dikutip IRNA, dalam percakapan telepon pada Senin, 19 September lalu.
Raisi memerintahkan Menteri Dalam Negeri menyelidiki kasus ini dan melaporkan langsung kepadanya. Ketua Parlemen Mohammad Bagher Qalibaf dan Jaksa Agung Teheran Ali Salehi juga menyatakan akan melakukan investigasi secara independen.
Respons pemerintah ini tak menghentikan protes. Unjuk rasa terjadi setidaknya di 80 kota dan sedikitnya 280 orang ditahan. Di beberapa tempat sejumlah perempuan melepas dan membakar hijab mereka.
Kematian Amini telah memicu ketidakpuasan masyarakat terhadap berbagai masalah, termasuk pembatasan kebebasan pribadi seperti hijab dan tekanan ekonomi akibat berbagai sanksi dari negara Barat. Hijab wajib dikenakan perempuan setelah Revolusi Islam Iran pada 1979. Sejak saat itu, perempuan kehilangan banyak kebebasan, termasuk hak untuk bekerja dan hak atas hak asuh anak. Sangat sedikit pria yang terlihat memprotes masalah ini.
“Fakta bahwa banyak kaum pria kini bergabung dalam protes ini menunjukkan bahwa masyarakat telah beralih ke tuntutan yang lebih progresif,” kata Mehrdad Darvishpour, sosiolog Iran yang berbasis di Swedia, kepada BBC.
Protes ini juga jauh lebih inklusif daripada sebelumnya. Gerakan Hijau pada 2009 melibatkan protes kelas menengah terhadap dugaan kecurangan dalam pemilihan umum. Meskipun besar, demonstrasi itu hanya berpusat di kota-kota besar. Tapi protes kali ini melibatkan kelas menengah dan kelas pekerja di berbagai kota besar dan kecil. “Kita menyaksikan lahirnya gerakan besar,” kata Darvishpour.
(Sumber: Tempo)