[PORTAL-ISLAM.ID] Keppres Kontroversial Jokowi oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Presiden Jokowi telah mengeluarkan Keppres No 17 tahun 2022 yang membentuk Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
Tim yang diketuai Makarim Wibisono dengan Ketua Dewan Pengarah Mahfud MD ini dinilai kontroversial. Suara penolakan pun muncul antara lain dari Setara Institute.
Yang paling lucu atau aneh yang adalah pelanggaran HAM berat masa lalu itu ternyata berdasarkan rekomendasi Komnas HAM sampai tahun 2020. Ini bertentangan dengan alasan dan dasar Keppres yakni telah sangat sulit untuk pembuktian pelanggaran HAM berat masa lalu. Tahun 2020 itu masih kemarin. Kasusnya masih sangat mudah untuk diusut kemudian diproses melalui Pengadilan HAM.
Penyiasatan Jokowi melalui Keppres 17 tahun 2022 ini terlihat antara lain:
Pertama, rekomendasi Komnas HAM menjadi acuan, semestinya tidak harus digantungkan pada rekomendasi Komnas HAM sebab praktiknya lembaga ini di samping kadang kerja tidak tuntas juga sering bias dan ikut “bermain” dalam melakukan pemeriksaan pelanggaran HAM. Independensi yang diragukan.
Kedua, penyelesaian kasus HAM berat melalui proses peradilan adalah amanat undang-undang karenanya perubahan atau diskresi penyelesaian secara non yudisial tidak bisa ditetapkan dengan bentuk Keputusan Presiden (Keppres).
Semestinya dengan undang-undang lagi atau sekurangnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Ketiga, pelanggaran HAM berat seperti kasus Talangsari, Semanggi I dan II, Trisakti atau Wasior Papua diduga pelakunya masih ada. Artinya, masih bisa diminta pertanggungjawaban. Karenanya terlalu gegabah untuk sekadar melakukan penyelesaian non yudisial. Keppres 17 tahun 2022 berorientasi pada ’santunan korban’ bukan pada pertanggungjawaban hukum dari pelaku.
Menggantungnya kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebenarnya bukan semata karena sulitnya pembuktian tetapi lebih kepada pemerintah sendiri yang tidak memiliki kemauan untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat tersebut.
Kembali soal lucu atau aneh tentang batasan hingga tahun 2020. Adakah pemerintah Jokowi ingin juga menutup kasus yang terjadi di masa pemerintahannya yang potensial diusut sebagai pelanggaran HAM berat “masa lalu” seperti tewasnya 894 petugas Pemilu dan terbunuh 9 pengunjuk rasa 21-22 Mei 2019 serta pembantaian 6 anggota Laskar FPI Desember 2020?
Ada aneh dan lucu pula apa yang dipidatokan Jokowi pada tanggal 16 Agustus 2022. Ia menyatakan telah menandatangani Keppres tersebut, padahal fakta yang ada ialah Keppres tersebut ditandatangani tanggal 26 Agustus 2022.
Ada kawan nyeletuk “Kebohongan Presiden ini adalah kulminasi dari berjuta kebohongan yang telah dilakukan Jokowi. Ini adalah pelanggaran HAM berat masa kini.”
Rakyat Indonesia yang menjadi korban tidak mau penyelesaian non yudisial!
Bandung, 23 September 2022