OLEH: ACHMAD NUR HIDAYAT
PENCARIAN keadilan KM 50 kelihatannya menemukan jalan buntu. Genk Sambo untuk sementara waktu bisa bernapas lega karena dua anggota genk Satgassus-nya lepas dari jeratan hukum.
Hal ini terjadi karena Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi (banding) kasus KM 50 pada Selasa 13 September 2022.
Dengan penolakan banding kasasi tersebut, maka kedua polisi tersangka, yaitu Biptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella bebas dan lepas dari jeratan hukum.
Hakim yang diketuai oleh Desnayeti dan beranggotakan Gazalba Saleh dan Yohanes Priyana bersepakat memutuskan untuk bahwa kedua polisi tersebut tidak bersalah, mereka melakukan penembakan dalam upaya membela diri.
Kasasi itu sendiri diajukan kejaksaan yang meyakini bahwa kedua polisi tersebut bersalah.
Jaksa penuntut umum (JPU) meyakini keduanya bersalah melakukan pembunuhan dan penganiayaan di kasus KM 50.
Jaksa penuntut umum Zet Tadung Allo mengatakan putusan Hakim MA tersebut merupakan ujung dari penyelesaian perkara KM 50 ini.
Harapan Keadilan Itu Masih Ada
Meskipun demikian kasus ini bisa dibuka kembali jika ada bukti baru. Bukti baru itulah yang harus di cari oleh pihak JPU beserta jajaran kejaksaan agung lainnya bila ingin pelaku unlawfull killing kasus KM 50 terungkap.
Publik paham bahwa kasus KM 50 tersebut telah melibatkan Satgassus Polri yang bekerjanya di dalam ruang gelap.
Bahkan sampai Satgasuss dibubarkan Agustus 2022 kemarin, Kerja Satgassus tidak pernah diaudit. DPR pun tidak serius mengaudit Satgasuss buktinya tidak ada pansus terkait satgasus yang dibentuk DPR.
DPR RI khususnya Komisi III terlihat setengah hati melakukan audit kepada satgassus agar operasi satgassus selama ini menjadi terang benerang.
Mungkin karena satgasuss melakukan juga kerja-kerja politik yang menguntungkan oknum anggota DPR tersebut.
Kini harapan ada di pihak JPU yang dipimpin oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin. Sebagai Jaksa Agung tentunya ST Burhanuddin bisa membuat task force mencari bukti baru seputar KM 50.
Task Force tersebut harus melibatkan banyak pihak termasuk keluarga korban KM 50, Komnas HAM, masyarakat sipil, ormas, dan ahli-ahli hukum termasuk kalangan DPR RI yang masih memiliki nurani.
JPU menjelaskan telah berupaya untuk mengedepankan hati nurani berdasarkan fakta yang diperoleh, akan tetapi hakim PN dan MA berpendapat berbeda.
Kasus KM 50 ini semestinya menjadi kesempatan bagi kejaksaan untuk menegakkan keadilan. Dari awal kasus KM 50 ini dipenuhi banyak kejanggalan bahkan TKP-nya sendiri KM 50 sampai akhirnya ditutup.
Ini yang menjadi pertanyaan besar bagaimana sebuah TKP kasus pembunuhan yang juga merupakan ruang publik Rest Area tol sampai harus ditutup.
Belum lagi kejanggalan kejanggalan lainnya berupa matinya CCTV, padahal tempat kejadian perkara adalah jalan tol yang banyak terpasang CCTV.
Kuasa hukum keluarga korban dan Tim Independen yang sudah dibentuk untuk kasus ini harus bersikap pro aktif untuk menginvestigasi kembali kasus ini.
Bagi Jaksa Agung M Burhanuddin ini sebetulnya momentum yang sangat tepat untuk meminta jajarannya bekerja lebih keras lagi untuk mendalami lebih lanjut kasus ini. Karena kasus KM 50 ini adalah kasus besar yang telah merenggut nyawa 6 orang anak manusia tak berdosa yang masih belum jelas apa kesalahan mereka sampai harus terbunuh.
Kasus KM 50 ini juga mendapat perhatian dari pemerintah Amerika Serikat yang memberikan catatan Human Rights bagi Indonesia. Kita sangat berharap negara dalam hal ini pihak Kejaksaan Agung memberi atensi khusus terhadap kasus ini.
Bangsa Indonesia akan sangat berterima kasih kepada Jaksa Agung ST Burhanudin jika di sisa masa jabatannya sebagai Jaksa Agung membentuk Task Force pencari fakta baru KM 50 sehingga ditemukan fakta baru dan akhirnya dapat mengajukan banding kasasi kasus ini kembali.
Harapan itu masih ada. Apakah kini publik pencari keadilan KM 50 dapat berharap dari Jaksa Agung ST Burhanuddin atau kebenaran kasus KM 50 akan tertutup selamanya karena ternyata Genk Sambo ada juga di kejaksaan. Semoga tidak.
(Penulis adalah pakar kebijakan publik Narasi Institute)