Meskipun direkayasa stereotif dengan framing intoleran, radikalis dan fundamentalis. Anies sejatinya seorang Soekarnois, bahkan lebih Soekarnois ketimbang yang mengaku-ngaku, mencari jabatan dan hidup mewah serta berlindung dibalik nama besar Soekarno, sekalipun dibandingkan dengan kalangan nasionalis dan marhaenis itu sendiri.
Pentas politik Indonesia selama beberapa dekade tak bisa dipisahkan dari diksi wong cilik. Selain menjadi variabel penting dalam hajat politik yang berujung capaian kekuasaan. Slogan perjuangan untuk kejayaan rakyat Marhaen itu, menjadi komoditas paling seksi dan menjual.
Betapapun dalam politik praktis, keberadaannya sering tergusur, terpinggirkan dan terabaikan. Keberadaan nasib wong cilik akan terus menjadi polemik dan kontroversi menghiasi negeri, terutama disaat pemerintahan mengabaikan konstitusi dan dikuasai oligarki.
Seperti yang digambarkan Soekarno, Marhaen adalah petani yang hidupnya serba kekurangan bekerja di sawah, meski dia mempunyai alat-alat produksi sendiri seperti cangkul, arit untuk memotong padi dan lain-lain.
Namun apa yang sesungguhnya terjadi, kaum Marhaen di Indonesia justru lebih sering menjadi korban eksploitasi dari pemilik modal dan mesin-mesin produksi dari industri yang dikuasainya. Marhaen cuma diperas tenaga dan jiwanya, oleh kapitalisme yang jejaringnya kuat menopang liberalisasi dan sekulerisasi.
ALSO READ :Ssstttt... Beberapa Hari Sebelum Terbakar, Polda Sumut 'Dikalahkan' 2 Mafia
Rakyat kecil dan tak berpunya lebih sering pasrah menerima pekerjaan sebagai skrup-skrup kapitalisme, menerima upah kecil dari industri besar, hidup berdampingan dengan kemiskinan dan serba kekurangan serta terseok-seok sekedar mempertahankan hidup. Rakyat menjadi pijakan dan memikul beban berat dari pesta-pora borjuasi korporasi dan birokrasi.
Sementara para pemilik modal, birokrat dan politisi bersatu bersekongkol jahat mewujud oligarki, sebuah wajah baru dari sifat lama kapitalisme yang sejatinya menjalankan imperialisme dan kolonialisme modern.
Para taipan atau cukong bergenetik asing dan aseng itu, berhasil menjadikan para birokrat dan politisi serta kebanyakan ‘stage holder’ menjadi budak oligarki.
Hasilnya, untuk berabad-abad lamanya di negeri ini, hanya ada kerusakan, ketimpangan dan ketidakadilan.
Segelintir orang menguasai hajat hidup orang banyak. Kekayaan alam yang berlimpah dimiliki sekelompok orang.
Hidup sebagai bangsa yang besar tapi kerdil jiwanya, beragama tapi tak Bertuhan dan menjadi manusia yang tak manusiawi.
Penderitaan rakyat semakin sempurna ketika pajak ikut naik dan praktek-praktek KKN tumbuh subur dan berkembangbiak. Di negeri ini, rakyat kecil seperti sudah di takdirkan menanggung semua kejahatan dan dosa para pemimpin dzolim yang menjadi musuh rakyatnya sendiri.
Sama halnya dengan Soekarno yang menghabiskan masa mudanya dengan pengabdian terhadap bangsa dan negara. Begitupun juga dengan Anies Baswedan, bahkan dalam dirinya memiliki darah pahlawan nasional, dari kakeknya AR Baswedan yang merupakan kawan sejawatnya Soekarno.
ALSO READ :Pensiunan Disebut Bebani Negara, Menkeu Sri Mulyani Kena 'Tamparan Maut' dr Eva Chaniago
Meskipun bukan anak biologis Soekarno, Anies bisa dibilang memahami sekaligus memiliki kemampuan untuk merealisasikan pemikiran dan keinginan Soekarno serta para pendiri bangsa lainnya.
Kalau Soekarno dikenal karya fisiknya melalui jembatan Semanggi, masjid Istiqlal, stadion Gelora Bung Karno dan patung-patung kota yang heroik.
Maka Anies mengikutinya dengan menjadikan kota Jakarta sebagai kota yang cantik dan penuh estetika, menghadirkan stadion Jakarta Internasional Stadium (JIS) berskala internasional yang membanggakan, membangun musium sejarah Nabi Muhammad terbesar di dunia di kawasan Ancol yang penting dan bermakna bagi umat Islam dan sirkuit Formula E yang prestisius.
Dalam hal kebathinan dan kejiwaan yang mendorong semangat nasionalisme dan patriotisme. Tak kalah dengan Soekarno yang mengagumi sekaligus berani melawan kapitalisme Amerika dan kepentingan kolonialisme global lainnya. Dengan karakter progressif revolusioner, Anies berani dengan tegas mengentikan proyek reklamasi para cukong di pantai utara Jakarta, yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan merongrong kedaulatan negara.
Anies juga giat merajut kebangsaan dengan menghidupkan prinsip-prinsip kebhinnekaan dan kemajemukan dalam pergaulan sosial sesama anak bangsa.
Soekarno dan Anies seperti dua pemimpin yang ditakdirkan hadir memenuhi panggilan sejarah. Sebagai pemimpin yang taat pada konstitusi sebagaimana yang dituangkan dalam Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.
Segala terpaan isu, intrik dan fitnah yang disikapi dengan jiwa besar dan tak menghilangkan ketenangan dan kesantunan dalam menghadapinya. Membuat Anies sedikit dari pemimpin yang memiliki kecerdasan emosional dan spiritual selain kecerdasan intelektual.
Itu modal fundamental dan radikal yang menandakan ada karakter humanis yang mutlak diperlukan seorang pemimpin, yang dimiliki sedikit orang.
ALSO READ :Mantan Politisi Senior PDIP : Negara Kita Sulit Maju Karena Menganut Pancasalah, Bukan Pancasila
Kalau bicara kinerja dan prestasi Anies, biarlah rakyat yang bicara dan menilai sendiri. Terbukti program populis untuk kebanyakan Marhaen, seperti pembebasan PBB bagi para veteran pejuang, air minum dengan harga terjangkau, perhatian dan dukungan pada masyarakat disabilitas, penataan wajah kota yang ramah dan penuh estetika, pembangungan perumahan kampung Aquarium bagi masyarakat tergusur dan tertindas, memudahkan IMB rumah peribadatan dan upaya hibah untuk kesejahteran pengurusnya. NYATA bukan sekedar janji-janji yang tak ditepati.
Begitupun walau berlimpah prestasi dan penghargaan, Anies tetap rendah hati tetap bekerja cerdas dan bekerja keras serta tidak jumawa. Karena siapapun pemimpin dan pejabat, kalaupun berprestasi, itu sesuatu yang wajar dan untuk itu ia mengemban amanat memegang jabatan, terlebih begitu banyak nasib rakyat ditentukan.
Seiring waktu dan proses kepemimpinannya ke depan serta keinginan rakyat luas yang menghendakinya menjadi presiden Indonesia. Ternyata Anies lebih Soekarnois. Anies mampu meneruskan semangat dan api nasionalisme dan patriotisme Soekano yang tak pernah padam.
Ternyata Anies Lebih Soekarnois, melebihi bahkan dari kalangan nasionalis dan Marhaenis yang hanya pandai mengumbar kata tapi tidak bisa kerja sembari berlindung dan menjual kebesaran nama Soekarno. (Yusuf Blegur)