Cara Cerdas Anies Membalas Kompas
Oleh: Yusuf Maulana (Pustakawan Samben Library)
Jika menilik prosedur kerja koran itu, dalih kekhilafan jelas tertolak. Bagi yang pernah belajar analisis isi media, apalagi memakai pisau analisis kritik wacana, yang diperbuat redaktur jauh dari kata pikiran kosong. Ada mekanisme pikiran yang bekerja hingga tampil halaman “kotor” dengan ilustrasi foto Gubernur DKI Jakarta. Kalau disebut “permintaan maaf”, tak tepat, tapi saya paham Mas Anies punya reputasi dan paham konteks diplomasi. Tak perlu uraikan lebih detail "serangan" lawan dengan emosi, cukup dengan narasi seperti dituliskan di status Anies. Keren, elegan, dan antitesis dari jurnalistik kura-kura warisan (P.K.) Ojong dan (Jakob) Oetama yang kian tak relevan dan malah jadi alat pemufakatan jahat awak redaksi koran tersebut.
“Pemufakatan jahat”, apa tak berlebihan? Tanya seorang netizen atas kalimat saya di atas. Kalau dia mengikuti berita relasi “beberapa” awak redaksi bahkan petinggi koran itu ke calon presiden yang kemudian terpilih pada 2014, begitu kasatmata apa yang terjadi di ruang bilik redaksi. Yang itu disadari sehingga pemimpin redaksi yang baru (sosok berbeda) pada ajang pemilu 2019 mencoba berdiri di tengah. Tapi, apa yang terjadi, dia dicibir oleh sebagian awak koran itu. Memang tak semua begitu, tapi ini sejarah: koran itu begitu militan membela secara politis kandidat di sebuah perhelatan. Jangan tanya beberapa jabatan yang diraih awak media itu setelah sosok yang dibelanya terpilih.
Karena kebesaran nama yang bahkan telah jadi legenda dan mitos, proses melawannya tidak efektif dengan menyematkan label-label. Cara Gubernur DKI Jakarta justru, saya yakin, tidak terbayangkan oleh pemimpin redaksi dan redaktur koran itu. Betul-betul jurus Aikido yang dahsyat tanpa harus mempermalukan. Hanya, mengobrak-abrik ideologi jurnalistik yang selama ini jadi pakem dan paten koran itu. Kalimat Mas Anies tak merendahkan apalagi menghinakan, nah justru itu berlawanan dengan perilaku “oknum” redaktur media tersebut. Orang Jogja, sebagaimana kelahiran pendiri koran itu: Pak Jo (Oetama), paham model kritik demikian.
Kasus “militansi” kemenggebuan redaktur koran itu moga jadi yang terakhir. Benar-benar tulus karena bagaimanapun juga sejatinya mereka masih banyak tang terjerembap dengan prasangka pada anasir yang mengusik eksistensi kalangan konglomerat (terutama non-pribumi) dan bukan-Islam, yang acap jadi jejaring iklan tradisionalnya. Belum lagi di holding mereka secara umum. Tapi, apa artinya memelihara semua itu kalau ternyata menabrak pakem komitmen menjaga keindonesiaan yang majemuk dalam arti sebenarnya—seperti yang acap digaungkan mereka.
(fb)