Oleh: M Arief Pranoto
Dari perspektif geopolitik, meski kasus Duren Tiga (selanjutnya dibaca: isu D3) tergolong isu hilir alias residu, yakni bias terjauh dari persoalan (isu) hulu bangsa, tetapi kadar serta kuantitas kegaduhan cukup menguras energi bangsa. Kenapa? Selain Polri itu sexy, menarik perhatian, juga isu dimaksud terjadi di rumah dinas Pati Polri yang sejak mencuat di publik sarat dengan kejanggalan. Tidak sedikit kejanggalan tersisa hingga kasus D3 naik ke tahap penyidikan.
Beberapa tokoh nasional mulai berkomentar, bahkan Presiden Jokowi pun mengatakan agar isu D3 dibuka seterang - terangnya dan selesai sebelum 17 Agustus 2022.
Isu D3 tidak hanya menarik perhatian, namun karenanya -- muncul fenomena sebagai catatan, bahwa isu hilir ternyata lebih mudah menyulut sentimen publik daripada hal-hal genting dalam bernegara. Ya. Akibat D3, isu-isu hulu nan genting malah meredup, dianggap kurang sexy di mata publik.
Lantas, hal urgen dan genting mana yang meredup gegara isu D3?
Utang Indonesia per Juni 2022 tembus Rp 7.123 triliun dan sudah jatuh tempo pembayaran.
Dengan demikian, tahun 2022 ini pemerintah harus menyiapkan anggaran:
1. Bayar cicilan pokok sebesar Rp 443 triliun, sekitar 20% dari APBN;
2. Bayar bunga Rp 405 triliun, ini juga kurang lebih 20% APBN.
Di atas kertas, 40% APBN tiap tahunnya dipakai untuk membayar cicilan plus bunganya. Hal itu belum termasuk hidden debt (utang tersembunyi) yang dibuat oleh BUMN. Memang tidak masuk list APBN, tetapi tetap menjadi tanggung jawab pemerintah jika BUMN gagal bayar. Entah berapa jumlah besarannya.
Selain pembayaran cicilan pokok dan bunga yang menyerap 40% APBN (belum termasuk hidden debt) pada satu sisi, juga subsidi BBM tahun 2022 mencapai Rp 578,1 triliun di sisi lain. Katakan subsidi tersebut 25% APBN. Kemudian gaji ASN/TNI/Polri 20%, DAU/DAK 20% dan sektor pendidikan wajib 20%, dan lain-lain.
Lalu, dari mana anggaran IKN, uang mana untuk membeli Rafale, penanganan DOB Papua, dan anggaran persiapan pemilu serentak yang "tak serentak"?
Silakan bayangkan, betapa beban APBN cukup berat. Lantas, bagaimana cara mengisi pundi APBN?
Tentu dengan membuat utang baru. Itu jawaban instan. Apa boleh buat. Yang perlu diwaspadai adalah, setiap tahun cicilan pokok dan bunga akan semakin besar dan membengkak.
Jika tanpa ada durian jatuh alias windfall profit di setiap tahunnya, ataupun creative destruction yang tepat, niscaya lubang utang harus ditutup dengan membuat (utang baru) lubang baru. Demikian berulang dan terulang setiap tahun.
Itulah "siklus gila lubang" alias gali lubang tutup lubang. Entah kapan putaran siklus tersebut berhenti.
(*)